Powered By Blogger

Selasa, 01 Februari 2011

Naskah

AYAHKU PULANG

Karya : USMAN ISMAIL

Sutrdara : Suwarso

Adaptasi karya Usman Ismail

Pemain:

1. Gunarto

2. Ibu : Tinah

3. Mintarsih

4. Ayah : Soleh

5. Maimun

Ruangan sederhana. Dibelakang kiri tanpak pintu beranda………….

Senja lalu, diluar gelap. Dipanggung kanan sebuah meja makan yang sudah tua dengan dua buah kursi dan meja. Ibu (Tinah) sedang di dekap meja melihat ke luar dan jahitan di tangan. Dari jauh terdengar tabuh bersahut-sahutan. Masuk Gunarto dari kiri dan berhenti itu di depan jendela. Masuk Gunarto menyandarkan sepeda.

01.

Gunarto

:

(dalam memandang Ibu) Ibu melamun lagi? (suara penyesalan)

02.

Ibu

:

(tak acuh) Malam lebaran Narto, dengarlah tabuh bersahut-sahutan. Pada malam lebaran beginilah dia pergi tidak meninggalkan kata.

03.

Gunarto

:

(agak kesal) Ayah…………?

04.

Ibu

:

Keesokan harinya hari lebaran, sesudah sembahyang aku maafkan dosanya.

05

Gunarto

:

Kenapa Ibu teringat juga waktu yang lampau, mengingat orang yang tak ingat lagi kepada kita.

06

Ibu

:

(memandang Gunarto). Aku merasa dia masih ingat kepada kita, Narto?

07

Gunarto

:

(kemeja, membuka tudung makanan) Min, kemana bu?

08

Ibu

Mintarsih keluar mengantarkan jahitan.

09

Gunarto

:

(heran) Min masih saja menerima jahitan itu Bu? Bukankah Mintarsih tak perlu membanting tulang sekarang?

10

Ibu

:

Biarlah, Narto, nanti kalau sudah bersuami pendapatan itu tak akan sia-sia.

11

Gunarto

:

(memandang dan mendekati Ibunya). Sebenarnya Ibu hendak mengatakan penghasilanku belum cukup untuk makan keluarga…………..(diam sebentar)…………

Tapi bagaimana dengan lamaran orang itu Bu?

12

Ibu

:

Mintarsih agaknya belum mau bersuami, tapi orang itu mendesak juga.

13

Gunarto

:

Tapi, apa salahnya Bu? Uangnya kan banyak.

14

Ibu

:

Ah, uang banyak?.............

15

Gunarto

:

Bukan maksudku menjual adikku sendiri: aku sudah terlalu mata duitan, mungkin penuh derita ini…………

16

Ibu

:

(terkenang) Ayahmu seorang yang ber-uang, punya tanah, dan kekayaan. Waktu kami baru kawin. Tapi kemudian seperti pohon tertiup angin berkeping-keping maka pada gugur karenanya. Hening, pedih,lemah………uang tak berarti Narto, tidak, aku tidak mau terkena dua kali, aku tak mau.

17

Gunarto

:

(mencoba tertawa) Tapi kalau kedua-duanya sekaligus ada harta, ada hati!

18

Ibu

:

Dimana akan di cari, Narto? Mintarsih adalah gadis yang cantik. Tapi pada saat ini tak ada uang di rumah………sedikit hari lagi uang simpanan habis.

19

Gunarto

:

(terpekur kemudian geram) Semua adalah karena Ayah, Mintarsih menderita pula, dari mulai kecil ia sudah merasakan pahit getirnya penghidupan. Tapi harus dapat mengatasi pula kesukaran ini Bu, Harus…………….

Min, juga mesti bisa merasakan senang sedikit. Itu kewajibanku, aku mesti lebih keras berusaha.

Ah, jika aku ada uang Rp.150.000,- saja………..

20

Ibu

:

Buat perkawinan Mintarsih Rp. 150.000,- itu sudah cukup Narto…..sudah itu giliranmu.

21

Gunarto

:

Aku kawin Bu? Belum masanya aku memikirkan kesenangan bagiku sendiri sebelum saudara-saudaraku semua bahagia, dan Ibu sendiri dapat merasakan bahagia yang sebenarnya dari jerih payahku.

22

Ibu

:

Aku merasa bahagia bila anak-anakku bahagia, karena nasidku bersuami tidak baik benar, bahagia akan turun pula pada anakku. (dari jauh kedengaran beduk) Malam lebaran ia pergi. Waktu itu aku tak tahu apa yang mesti kuperbuat, tapi apa yang mesti kukerjakan………………

23

Gunarto

:

(tampaknya pindah acara) Maimun nampaknya lambat pulang hari ini, Bu?

24

Ibu

:

Barang kali masih banyak yang mesti dikerjakan, katanya mungkin bulan depan akan naik gaji.

25

Gunarto

:

(girang) Betul, Bu? Maimun memeng pintar otaknya encer…………..tapi uang kita tak ada, tak dapat mengongkosi sekolahnya lebih lanjut, sayang ia terpaksa bekerja dikantor saya. Tapi kalau ia bekerja keras dan cukup kemauan tentu ia akan menjadi orang yang berharga dalam masyarakat.

26

Ibu

:

(sambil berolok-olok) Narto? Siapakah putri yang sering bersama-sama engkau naik sepeda……………?

27

Gunarto

:

Ah, Cuma teman bekerja Bu!

28

Ibu

:

Rasanya pantas sekali buat engkau. Meskipun bukan orang sepadan derajat. Tapi kalau suka………

29

Gunarto

:

Ah, buat apa memikirkan kawin sekarang bu? Barang kali sepuluh tahun lagi jika semua ini telah beres.

30

Ibu

:

Tapi jika Mintarsih kawin, engkau mesti juga Narto. Kau lebih tua………(terkenang) waktu Ayahmu pergi malam itu,…….ku peluk anak-anakku …hilang akalku……..

31

Gunarto

:

Ah, apa gunanya mengulang kaji lama itu, Bu.

32

Maimun masuk

33

Maimun

:

Lama menunggu aku?

34

Gunarto

:

Ah, aku juga baru kembali.

35

Ibu

:

Agak terlambat hari ini Gun?

36

maimun

:

Kerja lembur Bu, tapi biarlah, buat perkawinan Mintarsih, mana dia Bu?

37

Ibu

:

Ngantarkan barang jahitan, tapi makanan sudah sedia, makanlah dulu, mandinya nanti saja.

38

Maimun

:

(duduk di meja makan) Mas Narto ada kabar aneh. Tadi pagi aku berjumpa dengan orang tua. Katanya aku serupa dengan ayah.

39

Gunarto

:

(tak memperdulikan dan mulai makan)…………..Begitu……

40

Maimun

:

Waktu Pak Tirto belanja di pasar gudeg, ia tiba-tiba berhadap- hadapan orang tua, kira-kira berumur 60 tahun. Ia agak kaget juga, karena orang tua itu seperti juga sudah dikenalnya. Katanya serupa dengan H.Soleh. Tapi orang tua itu terus menyingkir ditengah-tengah orang ramai

41

Ibu

:

(teringat) Pak Tirto kawan Ayah waktu mereka sama-sama sekolah dulu. Tetapi sekarang mereka sudah lama tak bertemu, sudah 20 tahun, boleh jadi ia salah lihat.

42

Maimun

:

Pak Tirto mengaku juga, boleh jadi ia salah lihat. Katanya 20 tahun memang terasa lama juga dalam hidup manusia. Tapi ia kenal benar pada Ayah jadi…………..

43

Gunarto

:

(memotong) Ah, Mana bisa dia ada disini?

45

Ibu

:

(diam sejurus) Memang aku kira ia telah meninggal. Atau keluar negeri. Sudah 20 tahun ia pergi. Pada malam lebaran seperti ini.

46

Maimun

:

Ada orang mengatakan ia pergi ke Singapur.

47

Ibu

:

Tapi itu sudah sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu kata orang ia punya toko besar di sana. Kata orang yang melihatnya hidupnya mentereng benar.

48

Gunarto

:

Dan anaknya makan lumpur……………………

49

Ibu

:

(terus saja seperti tak mendengar) Tapi kemudian tak ada kabar sama sekali tentang dia. Apalagi sesudah perang, sekarang di mana kita harus bertanya?

50

Maimun

:

Bagaimana Ayah yang sebenarnya Bu?

51

Ibu

:

Waktu masih muda, tidak suka belajar, tidak seperti kau. Dia lebih suka berfoya-foya. Dan ayahmu disegani orang, ia menjual meminjam uang kian kemari……….

52

Gunarto

:

(tak sabar) Bu marilah kita makan. (mulai makan)

53

Ibu

:

Ooooooooo ya aku hampir lupa (meletakkan sendok, keluar melalui pintu belakang)

54

Gunarto

:

Pak Tirto bertemu orang itu kapan Mai?

55

Maimun

:

Kemarin sore kira-kira jam enam.

56

Gunarto

:

Bagaimana pakaiannya?

57

Maimun

:

Tak bagus lagi, katanya pakaiannya sudah hampir compang-camping dan pecinya sudah hampir putih.

58

Gunarto

:

(seperti tak peduli) Hemmmmmmmmm begitu……………….

59

Maimun

:

Kau masih ingat rupa Ayah Mas?

60

Gunarto

:

(singkat) Tak ingat lagi.

61

Maimun

:

Mestinya kau ingat. Umurmu sudah tua waktu itu. Aku sendiri masih ingat rupanya, meskipun agak samar.

62

Gunarto

:

Tak lagi, kataku (agak kesal). Sudah lama kupaksakan dirimu untuk melupakannya.

63

Maimun

:

(terus saja) Pak Tirto banyak menceritakan tentang Ayah. Katanya Ayah seorang yang baik hati.

64

Ibu

:

(yang sementara masuk) Ya orang bilang Ayahmu lebaran pulang…..dapatlah dia bersenang-senang di tengah-tengah anaknya.

65

Gunarto

:

Mintarsih seharusnya sudah pulang sekarang, hari ini terlambat sekali rasanya.

66

Maimun

:

Mas aku berkenalan dengan seorang India, dia mau mengajari aku bahasa Urdu. Dan aku memberi pelajaran bahasa Indonesia kepadanya.

67

Gunarto

:

Oh, baik itu Mai. Hendaknya kau membanggakan, karena kau telah menjadi seorang yang berarti bagi masyarakat, karena tanganmu sendiri, dengan tanpa bantuan seorang Ayah atau siapapun………………..(berhenti sejenak, sedih). Aku sebenarnya ingin menjadi seorang yang pandai, berharga, dapat berbakti pada masyarakat dan bangsa………..tapi aku hanyalah keluaran sekolah rendah……………aku tak pernah mengingat tinggi karenaaku tak ber ayah. Bekerja sekuat tenagamuaku percaya engkau insyap akan panggilan jaman sekarang.

68

Masuk gadis mintarsih yang nampak girang.

69

Mintarsih

:

Wah, orang sudah makan nampaknya.

70

Ibu

:

Tadi kami menuggu. Tapi engkau lama benar……(mintarsih terus ke jendela melihat keluar). Makanlah apa yang engkau lihat di situ.

71

Mintarsih

:

Waktu aku pulang ini………… (melihat Gunarto yang masih makan) Mas Narto, dengarlah dahulu.

72

Gunarto

:

(biasa saja) Aku mendengar…………..

73

Mintarsih

Ada orang tua di pojok jalan itu, dari jembatan sana melihat-lihat keadaan……………..seperti nampaknya (semua diam). Kenapa diam?

74

Gunarto

:

(mempercepat makannya).

75

Maimunah

:

(cepat mau berdiri) Orang tua? Macam apa rupanya?

76

Mintarsih

:

Hari agak gelap tak begitu jelas bagiku. Tapi orangnya pendek.

77

Maimunah

:

(bangkit dari duduknya ke jendela) Coba aku lihatnya………

78

Gunarto

:

(agak menoleh sedikit) Siapa Mai?

79

Maimunah

:

Tak ada orang yang kelihatan (kembali ketempat duduk)

80

Ibu

:

(meletakkan sendok, terkenang). Malam lebaran seperti ini ia pergi, itu mungkinlah………….

81

Gunarto

:

(agak kesal) Ah, Ibu lupakan apa yang telah lalu itu.

82

Ibu

:

(mengenag terus) Waktu kami sama-sama muda, kami sangat berkasih-kasihan.

Banyak kenangan indah di masa itu yang tak bisa aku lupakan. Mungkinlah ia kembali juga. Karena jika ia telah tua mungkin hatinya lunak juga.

(diam sejurus) Kedengeran (kedengaran suara orang laki-laki di pintu).

83

Ayah

:

Assalamu’alaikum………..Assalamu’alaikum………..Apa di sini rumah nyonya Soleh?

84

Ibu

:

(kaget, bangkit dari kursi) AstagFirullah……….. Ayahmu……… Ayahmu………

85

Ayah

:

(terharu) Tinah………………Tinah.

86

Ibu

:

Soleh……………..engkau Soleh. (saling medekat) Ayahmu….. Ayahmu……

87

Ayah

:

Ya………………aku berubah Tinah. 20 tahun bukan sebentar Tinah, perceraian merubah muka, tapi melihat engkau tidak berubah, Cuma rambutmu yang putih, aku gembira, anak-anak bagaimana? Tentu mereka sudah besar sekarang.

88

Ibu

:

Ya sudah besar tentu, marilah masuk pandanglah mereka.

89

Ayah

:

Bolehkah aku masuk Tinah?

Ibu

:

Tentu saja boleh (Ayah masuk perlahan-lahan). Ayahmu pulang nak, ayahmu pulang.

90

Maimunah

:

(gembira) Ayah…..Ayah…..(mendekati dan mencium tangannya) Aku Mainun, Ayah.

100

Ayah

:

Maimun sudah besar engkau sekarang. Waktu aku pergi engkau masih kecil sekali, kakimu masih lemah belum bisa berdiri………..dan nona ini…………….?

101

Mintarsih

:

Aku Mintarsih Ayah…………(mencium tangan ayahnya).

102

Ayah

:

Ya……Mintarsih……..aku mendengar dari jauh, aku mendapat anak lagi, seorang putri. Engkau cantik Mintarsih, cantik seperti ibumu…………..Ah aku girang, aku taktahu apa yang musti aku katakan.

103

Anak-anak

:

Silakahkan duduk ayah.

Ibu

:

Ya aku sendiri tak tahu dari mana aku musti mulai bicara. Anak-anak semuanya sudah besar seperti ini. Aku merasa bahagia paling besar.

104

Ayah

:

Yah, anak-anak rupanya bisa besar sendiri meskipun tak mempunyai ayah (tersenyum).

105

Ibu

:

Yah, mereka sudah menjadi orang pandai. Narto bekerja di perusahaan dan Maimun tak pernah tinggal kelas semasa dia sekolah. Tiap kali mesti keluar sebagai juara dalam ujian. Sekarang semuanya telah punya penghasilan dan Mintarsih membantu-bantu sementara menunggu………..

106

Mintarsih

:

Ah, Ibu…………..

107

Ibu

:

Dan bagaimana engkau selama ini?

108

Ayah

:

Sepuluh tahun lalu aku seorang yang besar di Singapura. Aku kepala dari sebuah perusahaan dengan pegawai berpuluh-puluh. Tapi malang tokoku habis terbakar dan seolah-olah nasib belum puas menyeret aku dalam kesengsaraan, andil yang ku beli merosot semua sesudah perang. Sudah itu semua yang ku kerjakan tak ada yang baik lagi, tak sempurna…………………….

Sementara itu aku susah mulai tahulah tempat tinggalku, anak istriku tergambar dalam jiwa. Rasanya tak tahu lagi aku hidup. Karna itu aku harap-harapkan kasihanmu…………….(diam sejurus) beri aku air minum segelas, kering tenggorokanku rasanya. Engkau tak berubah rupanya Narto, hanya engkaulah yang tidak……………(diam lagi)

109

Ibu

:

Narto, ayahmu itu yang berbicara, mestinya kau gembira……..sudah semestinya bapak berjumpa dengan anak-anaknya setelah sekian lamanya.

110

Ayah

:

Kalau Narto tak mau, engkau Maimun, ambilkan aku air segelas.

111

Maimunah

:

Baik ayah (mengambil air).

112

Gunarto

:

Kami tak punya ayah lagi kataku. Jika kami berayah apa perlunya kami membanting tulang, menjadi budak orang. Waktu aku berumur delapan tahun, ibu dan aku hampir terjun ke laut. Untung ibu lekas insyaf.

Jika kami punya ayah, apa perlunya aku jadi anak suruhan pabrik. Waktu aku berumur sepuluh tahun, karna tak ada ayah kami jadi besar dalam sengsara. Masa gembira sedikit pun tak ada. Lupakah engkau ketika engkau menangis ketika masih di sekolah rendah, engkau tak bisa membeli gundu seperti anak lain-lainnya, karena engkau pergi sekolah dengan buku hanya setengah, karena engkau tak punya ayah. Jika kita punya ayah mungkinkah hidup kita ini begitu melarat (ibu dan Mintarsih mulai menangis).

113

Mintarsih

:

Tapi mas Narto…….sedang Ibu…..memaafkan ayah. Mengapa kita tidak…………?

114

Gunarto

:

(dingin) Ibu adalah seorang perempuan aku mengerti bagaimana perasaannya. Andai kata aku punya ayah maka bapakku itu musuhku. Waktu kita masih kecil jika kita menangis dipangkuan ibu karena lapar, dingin dan penyakitan, ibu selalu berkata ini semua adalah kesalahan ayahmu, ayahmulah yang mesti disalahkan. Jika aku mempunyai ayah sebenarnya dialah yang menjadi musuhku. Menyiksa aku ketika aku berusia sepuluh tahun untuk menjadi babu cucian.

Aku bekerja sekuat tenaga untuk membuktikan aku dapat memberi makan keluargaku. Aku hendak berteriak pada umum aku tak perlu pertolongan orang lain, orang yang meninggalkan anak istrinya dalam sengsara, aku sanggup jadi orang yang berharga, meskipun tak mengenal kasih sayang sesaat, hartanya bertimbun-timbun akhirnya dia lari dengan seorang wanita yang asing, yang menarik dia kelembah kedurjanaan. Karena cinta ia pada wanita yang membawa kepintu neraka itu……lupa ia kepada anak istrinya, pada bangsanya, sampai-sampai buku simpananku yang disimpan ibu, hilang bersama ayahku yang minggat…..

115

Ibu

:

Narto! Apa katamu?

116

Gunarto

:

(pelan-pelan tapi pahit) Kami tak mempunyai ayah lagi, kapan kami punya ayah?

117

Maimunah

:

(dengan air mata) tapi mas Narto lihatlah ayah seperti itu………..telah tua……….karena itu………..

118

Gunarto

:

Maimun, sering benar aku mendengar yang berarti….ayah. hanya karena orang masuk ke rumah kita mengatakan ia ayah kita, kau panggil ayah? Padahal dia tak kenal kita. Sekarang ini dapat kau rasakan dengan sungguh-sungguh bahwa kau berhadapan dengan seorang ayah, ayahmu?

119

Maimunah

:

Tapi mas Narto kita adalah darah daging, bagaimanapun kelakuannya kita tetap anaknya, yang harus memeliharanya.

120

Gunarto

:

Jadi maksudmu itu kewajiban kita? sesudah dia memuaskan hatinya dimana-mana dia kembali karena telah tua itu, haruslah kita memeliharanya……

Hemmmmmm sungguh enak kalau begitu.

121

Ayah

:

(agak marah) Gunarto, sampai benar kau berkata demikian kepada ayahmu, ayah sendiri, ayah kandungmu.

122

Gunarto

:

Ayah kandung? Gunarto yang dulu yang pernah berayahtetapi dia telah meninggal dua puluh tahun yang lalumencemplungkan diri kedalam laut.

Gunarto yang sekarang adalah Gunarto yang dibentuk oleh Gunarto sendiri: aku pernah merasa berutang budi kepada siapapun diatas dunia ini (hening yang terdengar hanya tangis Ibu dan Mintarsih) aku merasa merdeka, merdeka semerdeka-merdekanya.

123

Ayah

:

Memang akan berdosa dulu itu aku mengaku. Itulah sebabnya aku kembali waktu tuaku untuk mmemperbaiki kesalahanku, tapi benar katamu itu aku takkan mendorong-dorongkan diriku dimana tak dikehendaki aku pergi……….tapi tahukah engkau bagaimana pedih rasa hatiku, aku yang pernah dihormati, kaya dan punya harta benda berjuta-juta rupiah, sekarang diusir sebagai pengemis oleh anaknya sendiri. Bagaimana aku terperosok………………..tak mau aku menunggu orang lain (hendak pergi).

124

Maimunah

:

(menahannya) tunggu dulu ayah, jika mas Narto tak mau menerima ayah akulah yang akan menerima ayah. Aku tak peduli. Apa yang pernah dan apa yang terjadi.

125

Gunarto

:

Maimun. Pernahkah kau menerima pertolongan dari orang tua semacam itu? Aku pernah menerima tamparan dari dulu. Tapi engkau, rasanya sebijipun tak pernah kau menerimanya.

126

Maimunah

:

Mas Narto, jangan begitu keras.

127

Gunarto

:

Jangan engkau membela dia juga. Ingatlah, siapa yang pernah sebenarnya yang membesarkan engkau, dari keringatku dari kuli dan kacung murahan. Ayahmu yang sebenarnya adalah aku, Maimun.

128

Maimunah

:

(tersedu-sedu) Engkau. Telah menyakiti hatiku juga sekarang, mas Narto.

129

Gunarto

:

Yah, jika menurut kehendakmu, boleh keluar bersama-sama dia, (hening, Ibu dan Mintarsih bertaangis-tangisan, Maimun payah menahan air mata kemudian Gunarto lemah).

Mungkin kau tak merasakan dengan pahit pedihnya penderitaanku selama ini, aku menderita karena tak mempunyai Ayah.

Tapi pikiranku kucurahkan buat kebahagiaan saudaraku.

Supaya mereka janganlah menderita seperti aku. Sering aku malam-malam tak dapat tidur, aku perpikir…………….berpikir, sakit-sakit aku merangkak juga pergi bekerja untuk menjadikan engaku manusia yang berharga.

130

Ayah

:

Jangan seperti aku………………

131

Ayah

:

(sedih) Kumengerti………..mengerti, bagi tak ada jalan lagi jika aku mencoba kembali juga aku hanya mengusik kedamaian dan kebahagiaan anakku saja…………..birlah aku pergi, Tinah inilah jalan yang paling baik bagiku, tak ada jalan bagiku untuk kembali.

132

Maimun

:

(mengikuti ayahnya) Ayah apa Ayah ada uang…………..sudah makan?

133

Ayah

:

(sambil berjalan) Sudah…………. Sudah………….

134

Mintaqrsih

:

Kemana ayah akan pergi sekarang?

135

Ayah

:

Aku pergi menunggu mati di tepi jalan atau ke dalam kali. Aku Cuma pengemis biasa. Sekarang sebenarnya aku mesri pergi malah masuk rumah keluarga yang kutinggalkan dahulu dengan sengaja. Dan aku telah tua dan hina sekarang. Aku tak sadar langkahku kemari, sudah dua hari aku berdiri di dekat tangga sana, malu aku tak sanggup masuk…………tapi aku telah tua (perlahan-lahan takbiran).

136

Ibu

:

(sambil menangis), Malam lebaran ia pergi………………ia datang………….Untuk pergi kembali…………Seperti gelombang tertiup angin topan demikian nasib Ibu.

137

Mintarsih

:

(mendekati Gunarto) Mas, bagaimana Mas bisa begitu keras. Tak dapatkah Mas mengampuni Ayah, besok hari lebaran pula sudah semestinya bermaaf-maafan pula…………karena dia akan pergi………..(ia pergi ke jendela dan hujan pun mulai turun nampaknya)

138

Maimun

:

(agak pahit) Tak ada belas kasihan, tak ada rasa tanggung jawab terhadap orang tua yang sudah tidak berdaya.

139

Mintarsih

:

Malam hujan, Mas suruh dia pergi. Ayah kita sendiri.

140

Gunarto

:

(memandang adiknya) Jangan aku dipandang sebagai terdakwa mengapalah menyindir-nyindir juga? Aku sudah bilang kau harus pilih diantara dia atau aku.

141

Mintarsih

:

Mengapa memaksa kami memilih. Sedang kami kasih kepada Mas, dan juga kepada Ayah.

142

Gunarto

:

Min, jangan kau berbicara begitu, kau telah sayat-sayat jantungku sekarang.

143

Maimun

:

(tiba-tiba) Tidak………tidak………. Aku akan panggil Ayah kembali…………. Ayah…………pulang……….Ayah………pulang (dia lari keluar).

144

Gunarto

:

Maimun……Maimun…………kembali…….kembali……….(dia lari kepintu, tapi kemudian kembali duduk terpekur……hening kemudian masuk Maimun pakaiannya basah kuyub, membawa baju dan sebuah peci, Ibu dan mintarsih kaget).

145

Mintarsih

:

Mas………. Dimana………. Ayah?

146

Ibu

:

Mana Ayahmu?

147

Maimun

:

Takku lihat lagi Bu………..hanya melihat ini baju serta pecinya.

148

Gunarto

:

(mengangkat kepala dan memandangnya) Maimum di mana kau mendapatkan ini?

149

Maimun

:

Di bawah lampu jalan dekat jembatan……………..

150

Gunarto

:

Dan Ayah, Maimun…………. Ayah di mana?

151

Maimun

:

Aku tak tahu…………

152

Gunarto

:

(kaget) Ayah……….. Ayah………….Melompat ke jembatan ke dalam kali……

153

Ibu

:

Gunarto……….!!!!!!!!

154

Gunarto

Ayahku ………. Ayahku…….. dia tak tahan penghinaanku, dia yang biasa dihormati dan disegani, dan ia angkuh seperti aku seperti aku juga……………

Tak kuat ia menahan penghinaanku. Ayahku……..aku bunuh……. akan aku susul dia. (dia seperti orang gila lari ke luar dan yang lain memcoba menahan dia…….sambil tersedu-sedu…….).

Musik penutup dengan suara takbir idul fitri.

Layar tutup dengan perlahan-lahan.

Tamat

(Jakarta, 14 November 1973)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar