Powered By Blogger

Sabtu, 29 Januari 2011

Seni Pentas Drama

Seni pentas drama

Seni Drama.

Drama biasanya bercerita tentang potret kehidupan manusia, suka duka, pahit manis, problematika kehidupan manusia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian drama adalah komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak pelaku melalui tingkah laku atau dialog yang dipentaskan Dalam pementasan sebuah drama dibutuhkan seorang aktor/artis karena mereka adalah spirit atau roh dalam suatu adegan drama. Dengan adanya aktor-aktris yang tepat dan berpengalaman, pementasan drama tersebut dapat tercapai, terekspos maksud dan tujuannya, selain didukung oleh naskah yang baik dan sutradaranya yang handal pula tentunya. Dimana semua aktor/aktris beserta kru-kru yang lain bisa saling bersatu padu, satu visi dan menghilangkan egonya masing-masing demi satu tujuan yang nyata. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam mementaskan sebuah drama ;


1. Pemain ( Aktor / Artis )

Sang actor/Artis yang baik adalah seseorang yang mampu mengekspresikan dirinya sedemikian rupa laksana seorang seniman yang mampu memanfaatkan potensi yang ada di dalam dirinya. Potensi itu dapat dirinci menjadi: potensi tubuh, potensi akal, potensi hati, potensi imajinasi, potensi vokal, dan potensi jiwa. Kemampuan memanfaatkan potensi diri itu tentu tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus dengan giat berlatih. Latihan dan pengalaman membuat matang seorang Aktor/artis. Tak jarang kadang Aktor dan artis ditunutut memiliki kecerdasan yang cukup dan penalaran yang linear untuk memerankan adegan sesuai tuntutan skenario ataupun sutradara. Dibutuhkan rasa percaya diri dan rasa percaya kepada Sang Sutradara untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Jadi bukan hanya modal tampang doang … : -)

Tugas Aktor / Artis

Buku karangan Richard Boleslavsky sangat terkenal dengan judul Enam Pelajaran Pertama Bagi Calon Aktor yaitu :

1. Pelajaran Pertama : Konsentrasi

Konsentrasi bertujuan agar aktor dapat mengubah diri menjadi orang lain, yaitu peran yang dibawakan. Untuk mampu berkonsentrasi, aktor harus berlatih memusatkan perhatian, mulai dari lingkaran yang besar, menyempit, kemudian membesar lagi. Kendatipun latihan dilakukan di tempat yang ramai oleh suara hiruk pikuk orang jika konsentrasi kuat lakon akan tetap berjalan.

2. Pelajaran Kedua: Ingatan Emosi

The transfer of emotion adalah merupakan cara yang efektif untuk menghayati suasana emosi peran secara hidup, wajar dan nyata. Jika pelaku harus bersedih, dengan suatu kadar kesedihan tertentu dan menghadirkan emosi yang serupa, maka kadar kesedihan itu takarannya tidak akan berlebihan, sehingga tidak terjadi over acting.


3. Pelajaran Ketiga: Laku Dramatis

Berlaku dramatis artinya bertingkah laku dan berbicara bukan sebagai dirinya sendiri, tetapi sebagai pemeran. Untuk itu memang diperlukan penghayatan terhadap tokoh itu secara mendalam, sehingga dapat diadakan adaptasi.


4. Pelajaran Keempat: Pembangunan Watak

Aktor harus membangun wataknya, sehingga sesuai dengan tuntutan lakon. Pembangunan watak iu didahului dengan menelaah struktur fisik, kemudian mengidentifikasikannya, dan menghidupkan watak itu seperti halnya wataknya sendiri.

5. Pelajaran Kelima: Observasi

Observasi untuk tokoh yang sama dengan peran yang dibawakan. Untuk memerankan tokoh pengemis dengan baik, perlu mengadakan observasi terhadap pengemis dengan ciri fisik, psikis, dan sosial yang sesuai. Latihan observasi dapat juga dilakukan dengan jalan melakukan sesuatu yang pernah dilihat dengan pura-pura. Misalnya: adegan membuka pintu

(pintu tidak ada).

6. Pelajaran Keenam: Irama

Sentuhan terakhir dalam sebuah latihan drama adalah pengaturan irama perminan ini. Sedangkan irama permainan untuk setiap aktor, diwujudkan dalam panjang pendek, keras lemah, tinggi rendahnya dialog, serta variasi gerakan, sehubungan dengan timing, penonjolan bagaian, pemberian isi, progresi dan pemberian variasi pentas.

NB : Perlunya Membaca dan Memahami Teks Drama


Sebelum memerankan drama, kegiatan awal yang perlu kita lakukan ialah membaca dan memahami teks drama.Teks drama adalah karangan atau tulisan yang berisi nama-nama tokoh, dialog yang diucapkan, latar panggung yang dibutuhkan, dan pelengkap lainnya (Kontum, lighting, dan musik pengiring). Dalam teks dram, yang diutamakan ialah tingkah laku (acting) dan dialog (percakapan antartokoh) sehingga penonton memahami isi cerita yang dipentaskan secara keseluruhan. Oleh karena itu, kegiatan membaca teks drama dilakukan sampai dikuasainya naskah drama yang akan diperankan.

Dalam teks drama yang perlu dipahami ialah pesan-pesan dan nilai-nilai yang dibawakan oleh pemain. Dalam membawakan pesan dan nilai-nilai itu, pemain akan terlibat dalam konflik atau pertentangan. Jadi, yang perlu dibaca dan dipahami ialah rangkaian peristiwa yang membangun cerita dan konflik-konflik yang menyertainya. Dengan kesimpulan diatas artinya kemampuan untuk bermain drama dapat dipelajari.

2. Sutradara

Sutradara berperan dalam mengkoordinasikan segala yang berhubungan pementasan, konsep drama, latar belakang, juga dari jadwal latihan dimulai sampai dengan pementasan selesai dalam sebuah pentasan drama atau perfilman. Sutradara mempunyai yang cukup berat di dalam dalam sebuah pementasan. Bukan hanya dari mengurusi masalah akting aktor/aktris, kostum, tatarias pemain, background musik, tata panggung (dekorasi stage )dan lain sebagainya. Tugas yang berat tersebut kadangkala sibantu oleh staf-staf seperti Assisten sutradara. Jadi Seorang sutradara haruslah menguasai semuanya.

Dibutuhkan intelegensia dan kesabaran yang cukup tinggi untuk memegang tampuk seorang sutradara. Melatih, mengkoordinasikan aktor/aktris, juga memimpin urusan unsur pentas seperti penata lampu, penata pentas, penata musik, penata rias, penata pakaian, dekorator, dan petugas/kru-kru lainnya lainnya. Itu dituntut agar dapat menghasilkan pertunjukan yang berhasil. Untuk menghadirkan kepura-puraan menjadi realitas tentunya dibutuhkan daya imajinasi. Aktor/artis harus menghayati setiap situasi yang diperankan dan mampu secara sempurna menyelami jiwa tokoh yang dibawakan serta menghidupkan jiwa tokoh itu sebagai jiwanya sendiri, sehingga penonton yakin yang ada dipentas bukan diri sang aktor tetapi diri tokoh yang diperankan.

Tugas Sutradara

Adapun Tugas – tugas dari seorang sutradara adalah sebagai berikut, diantaranya :

1. Mengerti arti pementasan dan mengapa kontruksi pementasan harus disusun rapi.

2. Mengerti sikap karakter dan juga peranannya di dalam pementasan..

3. Mengerti bagaimana scene yang dibutuhkan, kostum, dan peralatan lampu yang sesuai.

4. Mengerti latar belakang pengarang naskah, kesinambungan pementasan, gambaran lingkungan juga gambaran audience(penonton) yang akan menyaksikan pertunjukan.

5. Mampu membuat jalan cerita,bahasa dan gerak tubuh (body language ) yang digunakan

sehingga dipahami penonton.

6. Mampu menghadirkan lakon sesuai dengan waktu dan tempat pementasan, sehingga suasana pementasan dapat dirasakan dan dihayati penonton.

7. Mampu menghadirkan image visual atau image kunci dengan dekorasi yang menggambarkan suasana yang sesuai.

Sutradara haruslah mampu menangkap pesan dan tema dari suatu naskah , nada dan suasana drama secara menyeluruh juga harus dipahami. Untuk menjadi seorang sutradara, seorang harus mempersiapkan diri melalui latihan yang cukup serius, memahami akting dan memahami cara melatih akting.

LIGHTING (TATA CAHAYA PEMENTASAN)


I. Pengertian
Salah satu unsur penting dalam pementasan teater adalah tata cahaya atau lighting. Lighting adalah penataan peralatan pencahayaan, dalam hal ini adalah untuk untuk menerangi panggung untuk mendukung sebuah pementasan. Sebab, tanpa adanya cahaya, maka pementasan tidak akan terlihat. Secara umum itulah fungsi dari tata cahaya. Dalam teater, lighting terbagi menjadi dua yaitu:
1. Lighting sebagai penerangan. Yaitu fungsi lighting yang hanya sebatas menerangi panggung beserta unsur-unsurnya serta pementasan dapat terlihat.
2. Lighting sebagai pencahayaan. Yaitu fungsu lighting sebagai unsur artisitik pementasan. Yang satu ini, bermanfaat untuk membentuk dan mendukung suasana sesuai dengan tuntutan naskah.

II. Unsur-unsur dalam lighting.
Dalam tata cahaya ada beberapa unsur penting yang harus diperhatikan, antara lain :
1. Tersedianya peralatan dan perlengkapan. Yaitu tersedianya cukup lampu, kabel, holder dan beberapa peralatan yang berhubungan dengan lighting dan listrik. Tidak ada standard yang pasti seberapa banyak perlengkapan tersebut, semuanya bergantung dari kebutuhan naskah yang akan dipentaskan.
2. Tata letak dan titik fokus. Tata letak adalah penempatan lampu sedangkan titik fokus adalah daerah jatuhnya cahaya. Pada umumnya, penempatan lampu dalam pementasan adalah di atas dan dari arah depan panggung, sehingga titik fokus tepat berada di daerah panggung. Dalam teorinya, sudut penempatan dan titk fokus yang paling efektif adalah 450 di atas panggung. Namun semuanya itu sekali lagi bergantung dari kebutuhan naskah. Teori lain mengatakan idealnya, lighiting dalam sebuah pementasan (apapun jenis pementasan itu) tatacahaya harus menerangi setiap bagian dari panggung, yaitu dari arah depan, dan belakang, atas dan bawah, kiri dan kanan, serta bagian tengah.
3. Keseimbangan warna. Maksudnya adalah keserasian penggunaan warna cahaya yang dibutuhkan. Hal ini berarti, lightingman harus memiliki pengetahuan tentang warna.
4. Penguasaan alat dan perlengkapan. Artinya lightingman harus memiliki pemahaman mengenai sifat karakter cahaya dari perlengkapan tata cahaya. Tata cahaya sangat berhubungan dengan listrik, maka anda harus berhati-hati jika sedang bertugas menjadi light setter atau penata cahaya.
5. Pemahaman naskah. Artinya lightingman harus paham mengenai naskah yang akan dipentaskan. Selain itu, juga harus memahami maksud dan jalan pikiran sutradara sebagai ‘penguasa tertinggi’ dalam pementasan.
Dalam sebuah pementasan, semua orang memiliki peran yang sama pentingnya antara satu dengan lainnya. Jika salah satu bagian terganggu, maka akan mengganggu jalannya proses produksi secara keseluruhan. Begitu pula dengan “tukang tata cahaya’. Dia juga menjadi bagian penting selain sutradara dan aktor, disamping make up, stage manager, dan unsur lainnya. Dengan kata lain, lightingman juga harus memiliki disiplin yang sama dengan semua pendukung pementasan.
Dari paparan di atas, semuanya dapat dicapai dengan belajar mengenai tata cahaya dan unsur pendukung lainnya.

III. Istilah dalam tata cahaya.
1. Lampu: sumber cahaya, ada bermacam, macam tipe, seperti par 38, halogen, spot, follow light, focus light, dll.
2. Holder: dudukan lampu.
3. Kabel: penghantar listrik.
4. Dimmer: piranti untuk mengatur intensitas cahaya.
5. Main Light: cahaya yang berfungsi untuk menerangi panggung secara keseluruhan.
6. Foot Light: lampu untuk menerangi bagian bawah panggung.
7. Wing Light: lampu untuk menerangi bagian sisi panggung.
8. Front Light: lampu untuk menerangi panggung dari arah depan.
9. Back Light: lampu untuk menerangi bagian belakang panggung, biasanya ditempatkan di panggung bagian belakang.
10. Silouet Light: lampu untuk membentuk siluet pada backdrop.
11. Upper Light: lampu untuk menerang bagian tengah panggung, biasanya ditempatkan tepat di atas panggung.
12. Tools: peralatan pendukung tata cahaya, misalnya circuit breaker (sekring), tang, gunting, isolator, solder, palu, tespen, cutter, avometer, saklar, stopcontact, jumper, dll.
13. Seri Light, lampu yang diinstalasi secara seri atau sendiri-sendiri. (1 channel 1 lampu)
14. Paralel Light, lampu yang diinstalasi secara paralel (1 channel beberapa lampu).


Seperti yang telah di ungkapkan di atas, secara sederhana hal-hal tersebut adalah yang pada umumnya harus diketahui oleh lightingman, selanjutnya baik tidaknya tata cahaya bergantung pada pemahaman, pengalaman dan kreatifitas dari lightingman. Intinya, jika ingin menjadi ‘lightingman sejati’, Anda harus banyak belajar dan mencoba (trial and error).


—- SELAMAT MENCOBA —-

Pancasila Ideologi Terbuka

1. Ideologi Pancasila Kuktur Politik Bangsa Indonesia:

Secara historis dapat dijelaskan, bahwa istilah “ideologi” adalah berasal dari sejarah Perancis ketika mengalami pencerahan, sebagai sebuah ilmu penge tahuan tentang hasil pemikiran atau idea manusia, artinya ideologi merupakan sebuah konsep ilmiah, yang mempergunakan racikan atau pola empirik maupun logika berfikir rasional. Ideologi dengan demikian sebagai bagian dari ilmu politik, yang mencoba mempersatukan usaha manusia yang bersifat politik bagi terbentuk dan terselenggaranya pemerintahan yang dianggap baik dan benar.

Pada awal sejarahnya itu, ideologi dianggap sebagai alat politik yang membawakan pemikiran revolusioner untuk menghancurkan pemerintahan model lama dengan strukturnya yang dianggap tidak lagi sesuai dengan suasana baru yang demokratis. Tetapi istilah ideologi atau ideologues pernah mengalami konotasi negatif sebagai doktrin bukan bersifat ilmiah seperti awalnya yang bersifat destruktif, oleh pengaruh Revolusi Perancis. Hal ini sebagai pengakuan ahli politik Perancis : Antoine Revarol (1753-1801) yang mengatakan, bahwa ideologi telah berubah menjadi doktrin yang destruktif dan ini telah menjadi kenyataan sejarah bahkan sebagai doktrin yang berbahaya bagi tertib politik yang baik; ideologi menjadi idea yang berbahaya, karena ingin merobek-robek tiang-tiang dunia yang ada. Di Perancis pada zaman revolusi itu para pemuda dengan berteriak keras berusaha merobohkan semua rintangan yang ada, sekalipun dengan kekerasan, membawa panji-panji ideologi. Memang Revarol hidup di zaman berkecamuknya revolusi dahsyat.

Setelah itu, terbawa oleh revolusi modern di Inggris, ideologi memperoleh kembali arti aslinya yang rasional, yakni ketika kaum Liberal maupun Konservatif, ketika hendak menyerang sebuah doktrin yang mereka tidak sukai, mereka mengenakan senjata ideologi secara rasional, tidak seperti di Perancis. Dalam mengritik kaum sosialis misalnya, kaum Liberal menggunakan ideologi untuk memperbaiki masyarakat. Sebaliknya kaum Sosialis atau Marxis juga menempuh jalan yang sama, yakni menggunakan ideologi sebagai senjata untuk menghadapi lawan politik. Walaupun demikian sering kali sifat destruktif ideologi, sebagai yang disinyalir Antoine Revarol (bukunya, De la Philosophie Moderne”, Paris 1802) bisa muncul kembali kepermukaan, ketika situasi pertentangan memanas.

Seorang ahli politik dan sosiologi terkenal Robert Mac Iver, dalam bukunya “European Ideologies”, New York, Philosophical Library, 1948, memberikan definisi tentang ideologi sebagai berikut : “ a political and social ideology is a system of political, economic and social values and idea from which objectives are derived. These objectives from the nucleus of a political program” (bahwa ideologi politik dan sosial adalah sebuah sistem nilai dan pemikiran politik, ekonomi dan sosial, yang memunculkan sasaran-sasaran. Sedang sasaran-sasaran ini membentuk intisari sebuah program politik). Dengan pengertian itu, maka ideologi akan memunculkan serangkaian gagasan, berupa sasaran-sasaran yang dinamis yang bisa mempengaruhi bahkan membimbing masa depan harapan bisa menentukan nasib masa depan manusia banyak. Definisi Mac Iver itu mengisyaratkan secara jelas bahwa ideologi hendaknya memiliki sifat mengatur atau “normatif”, berupa kaidah dasar, disamping juga memiliki fungsi memberikan “ilham atau inspirasi” bagi pemilik ideologi serta sifat ideologi haruslah rasional dengan tata logika yang benar, tepat dan singkat.

Apabila kita hubungkan dengan Pancasila sebagai ideologi, maka terlihat relevansi yang begitu nyata, bahwa sebagai ideologi, maka Pancasila adalah sebuah alat politik bangsa Indonesia, untuk mencapai cita-citanya dalam penyelenggaraan “Negara Bangsa”, bukan sebagai doktrin yang destruktif sebagai keluhan Revarol, tetapi sebagai sebuah kaidah yang konstruktif, untuk menciptakan masa depan bangsa yang adil dan bahagia. Bila mengikuti definisi Mac Iver, maka jelas kiranya bahwa Pancasila memiliki dasar kebenaran, artinya berkarakteristik “normatif” sebagai dasar negara, memberikan “inspirasi atau ilham” terus-menerus sebagai pedoman bagi sebuah Weltanschaung manusia bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sedang prinsip pemikiran atau “ideas” yang dikandungnya jelas menggunakan “tertib logika yang rasional”, berarti open to any soiontific debate.

Seterusnya Pancasila sebagai ideologi mampu memberikan skema yang lengkap bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik sosial, politik, ekonomi maupun tertib keamanan, berarti sebuah gagasan yang bisa mengilhami usaha mencapai tujuan atau sasaran luhur manusia berbangsa dan bernegara secara lengkap. Oleh karena itu tidak berlebihan kiranya apabila ideologi Pancasila adalah merupakan “kultur politik bangsa Indonesia”.

Untuk lebih jauh membahas mengenai konotasi ideologi politik, baiklah kita simak pendapat Profesor Samuel H. Beer, dalam bukunya yang berjudul “Patterns of Government”, New York 1958, dia membuat deskripsi tentang watak politik. Watak politik terlihat ketika sebuah masyarakat atau pemerintahan mengadakan aktivitas, mereka sebenarnya mempertontonkan sebuah “watak politik”, dan watak ini karena berlaku terus-menerus dalam jangka panjang, maka terbentuklah apa yang dinamakan “kultur politik”, yang menurut Beer, kultur ini memiliki tiga komponen penting, yakni (1) nilai, (2) kepercayaan dan (3) sikap.

Khusus mengenai (1) nilai, Beer membedakan antara (a) nilai prosedural dan (b) nilai tujuan. Ketika pemerintahan terbentuk atas dasar ideologi politik yang ada, maka otoritas pemerintahan dijalankan sesuai prosedur yang disepakati, dengan berpedoman kepada ideologi politik yang dimiliki, misalnya menjalankan prinsip-prinsip yang demokratis, membentuk lembaga-lembaga negara, menyelenggarakan Pemilu, dan sebagainya. Ini adalah “nilai prosedural”. Sedang “nilai tujuan” ialah berupa hasil pekerjaan yang dijalankan pemerintahan negara, misalnya terwujudnya masyarakat yang berkeadilan sosial serta berkemakmuran. Selanjutnya mengenai (2) kepercayaan, Beer menunjuk keinginan rakyat tentang jalannya ideologi politik atau ideologi politik dalam praktek kenegaraan. Beer membedakan antara “nilai” dengan “kepercayaan”, bahwa nilai politik adalah berbicara tentang apa “yang seharusnya” dijalankan atau diwujudkan, sedang kepercayaan politik adalah berbicara tentang apa adanya, bukannya What ought to be, tetapi What is saja.

Oleh sebab itu sebuah “kepercayaan politik” adalah sebuah gambaran tentang politik yang hidup dalam masyarakat, berupa adat-kebiasaan, agama, budaya, tingkah-laku dan seterusnya. Disini kiranya dapat menjelaskan sejarah, ketika Bung Karno mencoba menggali Pancasila dari bumi Indonesia, maka dia ketemukan dari lubuk hatinya rakyat Indonesia, yakni telah adanya (What is) prinsip-prinsip Pancasila, sehingga di sinilah letaknya Pancasila sebagai “kepercayaan atau keyakinan Politik” bangsa Indonesia. Ini apa adanya, dan sekaligus sebagai nilai yang harus diwujudkan dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan analisa Beer tersebut, maka ideologi Pancasila adalah sekaligus Nilai/Value dan Kepercayaan/Belief. Bisa dibandingkan dengan pendapat Bung Karno, bahwa Pancasila adalah landasan statis sekaligus Leidster dinamis.

Komponen (3) Sikap, menurut Beer sikap ini biasanya sentimentil atau emosional. Ini adalah bawah sadar masyarakat politik. Ujudnya seperti gunung es hanya tampak sedikit, sedang bagian terbesar tersimpan di bawah wadar. Dalam sikap politik banyak mengemukakan hal-hal yang bersifat peranan, misalnya sentimen nasionalisme, yang oleh dorongan ideologi politik bisa membara apabila tersinggung oleh sebuah kondisi yang menantang, jadi sifatnya sangat emosional. Namun sebenarnya disini sebagai ukuran apakah sebuah ideologi politik telah benar berakar dalam kehidupan masyarakat atau belum. Sikap sentimental yang besar terhadap nasionalisme yang sedang tersinggung adalah cermin langsung telah menebalnya kultur politik yang dibina oleh ideologi politik yang ada pada mereka. Sebaliknya tidak adanya reaksi sikap nasional yang emosional terhadap keterpurukan ideologi tersebut yang timbul dari masyarakat.

Apabila teori Profesor Beer benar, maka seharusnya Pancasila sebagai ideologi dan yang diharapkan menjadi kultur politik nasional itu berparameter “nilai prosedural maupun tujuan, kepercayaan politik dan sekaligus memiliki sikap sentimental yang tinggi”, sehingga tidak akan tergoyahkan oleh badai besar maupun yang bisa menimpa bangsa Indonesia, dari manapun datangnya serta kapanpun.

2. Pancasila Ideologi Terbuka

Nilai luhur yang terkandung dalam ideologi Pancasila tentunya perlu implementasi, yang menjalankan adalah seluruh rakyat warganegara, tanpa aktualisasi maka nilai tersebut tidak mempunyai arti apa-apa. Disinilah perlunya partisipasi, sedang partisipasi adalah dukungan nyata. Hal ini memerlukan keterbukaan antar warganegara sendiri, antara yang kebetulan menjadi penyelenggara negara maupun rakyat jelata, bahkan keterbukaan sistem politik nasional termasuk ideologi Pancasila sendiri. maka suatu keharusan adanya ideologi Pancasila yang terbuka. Masyarakat pluralistik memerlukan keterbukaan sistem, sehingga semua aspirasi mereka dapat tertampung.

Sejarah perjalanan politik sendiri menunjukkan, bahwa sejak berkembangnya pemikiran demokrasi, orang telah mengembangkan keterbukaan di semua aspek kehidupan, lebih-lebih dalam bidang politik. Karakteristik keyakinan politik serta kultur politik modern menuntut adanya “perubahan yang terus menerus” bagi perbaikan hidup manusia. Idealisme kuno yang statis sudah lama ditinggalkan. Modernisme selalu berisi pemikiran-pemikiran untuk terus maju, kemudian disemua aspek hidup itu terus berkembang dalam tamansarinya perdamaian, kebebasan, keadilan, kesejahteraan dan ketentraman, dan menentang serta mengeliminasi semua bentuk kemiskinan, penindasan, kekerasan, kejahatan, penyakit dan ketidak tertiban.

Ketika Marquis de Condorcet diguillotine dalam revolusi Perancis, dia lantang mengumandangkan perbaikan masyarakat untuk terus maju menuju “kesempurnaan” hidup. Condorcet meninggal, namun idea kemajuan telah dicatat sejarah. Condorcet yakin, bahwa manusia mampu untuk mencapai perbaikan hidup menuju kesempurnaan yang tidak terbatas, dengan kemampuan reason yang dimiliki manusia. Di kalangan umat Nasrani, dalam memasuki zaman modern dan industri, dikembangkan apa yang dinamakan “Work Ethics” atau etika kerja keras untuk mencapai kesejahteraan yang maksimal di bumi yang telah diberikan Tuhan bagi manusia. Juga umat Islam dianjurkan oleh agamanya untuk : Merubah suatu ni’mat yang telah dianugerahkan-Nya (Allah) kepada sesuatu bangsa, sehingga bangsa itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri” (Surat Al-Anfal 53).

Sila-sila dalam Pancasila bisa tetap sebagai landasan statis, namun dalam menuju nilai tujuan, ideologi Pancasila akan tetap terbuka untuk mencapai sasaran-sasaran yang dinamis. Tuhan sebagai Maha Pencipta alam semesta saja membebaskan manusia untuk merubah dan memperbaiki sikapnya di dunia untuk merubah ni’mat Tuhan kepada posisi yang lebih baik. Maka Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah terbuka bagi pemahaman yang konstruktif untuk mencapai nilai tujuan yang diciptakan bersama.

Sebagai landasan statis, sebagai istilah Bung Karno, maka sila-sila dalam Pancasila pun dapat dibahas terbuka secara ilmiah, seperti yang pernah dikemukakan Prof. Notonegoro dari Universitas Gajah Mada dan pakar-pakar lainnya secara akademik. Namun sila-sila tersebut nyatanya telah teruji secara sejarah akan authentisitasnya bersumber dari rakyat, yang dalam istilah Prof. Beer sebagai “Political Belief”, maka ideologi politik adalah realitas apa adanya (what is), ini berarti tetap terbuka juga untuk penyelidikan ilmiah kapan saja. Pendapat Beer ini kelihatan juga tidak jauh dari pandangan pendekar demokrasi liberal John Locke, ketika mengemukakan prinsip-prinsip ideologis demokrasi liberalnya, bahwa prinsip itu telah menjadi hukum alam yang tetap, namun kapanpun orang bisa berdebat tentang itu. Oleh karena itu, Pancasila sebagai ideologi, baik dilihat dari sandaran “Landasan Statis” maupun sasaran “Leidster dinamis”, akan tetap terbuka bagi pembahasan yang mendalam atau deliberatif. Dalam keterbukaan itu orang tidak perlu menakutkan timbulnya kondisi akan melemahkan posisi maupun eksistensi ideologi bangsa, akan tetapi justru sebaliknya akan menemukan penguatan kondisi maupun eksistensinya, sebab sekali lagi sebagai sebuah kultur yang telah memiliki label political belief, eksistensinya tidak perlu diragukan lagi.

Mungkin perlu sekali lagi kita mendengar pendapat filosuf politik humanitarian Marquis de Condorcet (1743-1794) yang banyak berpengaruh ketika ideologi politik sedang banyak diluncurkan di Europa, bahwa manusia akan tetap selalu menuju kearah “Perfektibilitas”, oleh sebab itu sebuah ideologi politik harus terbuka untuk menuju ke sana. Perfektibilitas harus dicapai melalui perjuangan politik, sedang perjuangan untuk pencapaian usaha perbaikan intellektual, perbaikan moral dan kemampuan fisik, dengan intensifikasi pendidikan di semua lapisan penduduk.

Bagi masa depan bangsa dan negara, maka tidak ada ruang lain bagi ideologi Pancasila kecuali tetap membuka diri sebagai ideologi terbuka.

3. Mengapa Pancasila di jadikan Ideologi…?
Jawab :
Pancasila dijadikan ideologi dikerenakan, Pancasila memiliki nilai-nilai falsafah dan pancasila telah teruji kokoh dan kuat sebagai dasar Negara. Selain itu, Pancasila juga merupakan wujud dari konsensus nasional karena negara bangsa Indonesia ini adalah sebuah desain negara moderen yang disepakati oleh para pendiri negara Republik Indonesia. Pancasila juga memiliki karakter utama sebagai ideologi nasional. adalah cara pandang dan metode bagi seluruh bangsa Indonesia untuk mencapai cita-citanya, yaitu masyarakat yang adil dan makmur.

4, Pancasila sebagai Ideologi Indonesia termasuk Ideologi terbuka atau tertutup..?
Jawab :
Pancasila merupakan Ideologi terbuka hal ini disebabkan dimaksudkan bahwa idiologi pansila besifat aktual, dinamis, antisifasif dan senentiasa mampu menyelesaikan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika perkembangan aspirasi masyarakat. Keterbukaan idiologi pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung didalamnya, namun mengeksplisitkan wawasannya lebih kongkrit, sehingga memiliki kemampuan yang reformatif untuk memecahkan masalah-masalah aktual yang senentiasa berkambang seiring dengan aspirasi rakyat, perkembangan iptek dan zaman.


Definisi Kualitas

Definisi Kualitas
Sebenarnya ada beberapa definisi yang berhubungan dengan kualitas, tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa kualitas atau mutu adalah karakteristik dari suatu produk atau jasa yang ditentukan oleh pemakai atau customer dan diperoleh melalui pengukuran proses serta melalui perbaikan yang berkelanjutan (Continuous Improvement).
Beberapa definisi tentang kualitas antara lain:
• Deming (1986) menyatakan: The difficulty in defining quality is to translate future needs of the user into measurable characteristics, so that a product can be designed and turned out to give satisfaction at a price that will user pay.
Kesulitan dalam pendefinisian kualitas adalah mentranslate atau mengubah kebutuhan yang akan datang dari user atau pengguna kedalam suatu karakteristik yang dapat diperlakukan , supaya sebuah produk dapat didisain dan diubah untuk memberikan kepuasan dengan harga yang akan dibayar oleh user atau pemakai.
• Crosby (1979) menyatakan: Quality is conformance to requirements or specification.
Kualitas adalah kesesuaian dari permintaan atau spesifikasi.
• Juran (1974) menyatakan: Quality is fitness for use.
Kualitas adalah kelayakan atau kecocokan penggunaan.
• Hence menyatakan: The quality of a product or service is the fitness of that product or service for meeting its intended used as required by the customer.
Kualitas dari suatu produk atau jasa adalah kelayakan atau kecocokan dari produk arau jasa tersebut untuk memenuhi kegunaannya sehingga sesuai dengan yang diinginkan oleh customer.

Definisi Kualitas

Definisi kualitas sangat beranekaragam dan mengandung

banyak makna. Kualitas adalah sebuah kata yang bagi penyedia jasa

merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan baik. Goetsch dan

Davis (1994) dalam Fandy Tjiptono (1996:51) mendefinisikan “kualitas

merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk,

jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi

harapan”.

Menurut Buddy (1997) dalam Anis Wahyuningsih (2002:10), “kualitas sebagai suatu strategi dasar bisnis yang menghasilkan

barang dan jasa yang memenuhi kebutuhan dan kepuasan konsumen

internal dan eksternal, secara eksplisit dan implisit”. Sedangkan

definisi kualitas menurut Kotler (1997:49) adalah “seluruh ciri serta

sifat suatu produk atau pelayanan yang berpengaruh pada

kemampuan untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau yang

tersirat”. Ini jelas merupakan definisi kualitas yang berpusat pada

konsumen, seorang produsen dapat memberikan kualitas bila produk

atau pelayanan yang diberikan dapat memenuhi atau melebihi

harapan konsumen.

Berdasarkan beberapa pengertian kualitas diatas dapat

diartikan bahwa kualitas hidup kerja harus merupakan suatu pola pikir

(mindset), yang dapat menterjemahkan tuntutan dan kebutuhan pasar

konsumen dalam suatu proses manajemen dan proses produksi

barang atau jasa terus menerus tanpa hentinya sehingga memenuhi

persepsi kualitas pasar konsumen tersebut.