SEMANGKA YANG DIKUBUR
karya
(SAM LEPAT)
Pemain:
1. BASUKI
2. KRIMA
3. BUDI
4. DONI
5. SEKAR
6. IWAN
7. LELAKI
SATU
Televisi siang hari. Hujan turun dan itu adalah awal kata-kata menciptakan ruang dan memainkan dirinya. Kata-kata itu jelas keluar dari rongga-rongga kemiskinan, kekalahan, BELUM DIISI yang berada dimana-mana. Dan kata-kata lebih menciptakan benda-benda yang sumpek ketimbang pengertian-pengertian. Ia menciptakan sebuah teater krisis.
Basuki dan Krima berada di dalam. Berjuang hanya agar mulut masih bisa digerakkan. Dan hanya agar tubuh masih terasa digunakan.
01. Basuki : (memandang televisi) Aku melihat sebuah dunia. Sebuah dunia yang biru.
02. Krima : (mengupas semangka) Kau sudah minum pil, Bas? Hujan akan mengantarmu kesana.
03. Basuki : Tidak, Krima. Televisi yang akan selalu mengantarku ke sana. Ia juga yang telah mengantar anak-anak kita pergi ke sebuah dunia yang biru itu, kesebuah dunia yang masing-masing ditempati hanya oleh seorang manusia. Ini adalah sebuah Matematika baru. Bukan. Sebuah Matematika biru.
Hujan yang turun deras menghentikan Basuki untuk melanjutkan berkata-kata. Krima meletakkan seiris semangka di atas semangka.
04. Basuki : Seperti halnya dengan diriku, manusia ditakdirkan untuk tidak pernah mati selama-lamanya. Kalau aku mati, televisi akan melahirkan diriku kembali. Dan kalau perang dunia meletus, televisi juga akan kembali memberikan sebuah dunia padaku. Lihat, anak-anak itu tidak akan pernah mati, walaupun kita cekik untuk membiarkan kita tetap hidup. Setiap generasi selalu dihantui oleh semacam penyakit untuk membunuh generasi dibawahnya, karena dia tidak pernah bisa mengerti bagaimana generasi dibawahnya bisa menghidupi generasinya sendiri. Seluruh kota-kota tidak bisa menyelesaikan masalah ini, sehingga ia terpaksa harus menelan setiap rumah yang berada dalam demam seperti ini, dan menelan seluruh keluarga. Seluruh keluarga.
05. Krima : Kau mulai batuk-batuk lagi, Bas.
06. Basuki : Tidak. Aku sedang hujan.
07. Krima : Aku melihatnya. Hujan turun berlembar-lembar. Lembaran-lembaran itu berwarna biru. Aku melihatnya. Jembatan seperti sebuah perahu yang menggigil. Banjir. Diluar dinding-dinding ini, semuanya tak berdaya dibawah lembaran-lembaran biru yang mencurahkan air dan angin itu. Semua dekor yang dipasang menjadi terasa semu dan tolol. Tapi kau harus minum pil, Bas.
08. Basuki : Bencana.
09. Krima : Apa kau bilang?
10. Basuki : Tampak padaku hujan yang kawakan!
11. Krima : Tentu saja hujan. Kau harus minum pil, kataku. Kalau kau tak menjawab, aku akan turun.
12. Basuki : Apakah sekarang kita sedang berada dalam udara?
13. Krima : Apa kau pikir udara itu sebuah balkon? Kau harus minum pil, kataku. Kau mulai batuk-batuk lagi. Kalau kau tak juga minum, aku akan turun.
14. Basuki : Jangan turun!
15. Krima : Apa?
16. Basuki : Jangan turun!
17. Krima : Kau harus minum pil, sayang. Aku tak mengerti kalau kau tidak minum pil. Satu-satunya yang masih bisa aku pahami dari dirimu adalah kalau kau minum pil, karena kau batuk. Selebihnya aku tak mengerti. Kau tahu apa bedanya kau dengan orang dalam televisi itu? Ialah kalau kau minum pil. Itu lebih penting dari ajaran atau ajaran manapun. Sakit adalah sakit, dan pil adalah satu-satunya jawaban. Sekali kita minum pil, seterusnya kita harus minum pil.kita tak boleh berhenti, Bas, karena batuk-batuk akan membuat kita terus-terusan menjadi ganjil sebagai apapun.
Basuki mencoba meraih irisan semangka.
18. Krima : Jangan kau sentuh semangka itu!
Basuki mengurungkan niatnya. Dengan pakaian basah kuyup Budi masuk dan menyambar irisan semangka yang tidak jadi disentuh Basuki. Budi menelannya.
19. Basuki : (menyanyi tanpa nada) Aku melihat sebuah dunia biru, yang dihantarkan oleh hujan kepadaku. Aku heran dunia itu tumbuh dalam semangka, yang mengajak orang pergi kedalam hujan, yang mengajak orang pergi ke Lorosai, ke Aceh, atau ke Papua. Tetapi aku heran aku tak berjalan kemana-mana. Aku berjalan dalam tenggorokanku sendiri. Dan tali sepatuku nyangkut entah dimana dalam mulutku.
Budi pergi
20. Krima : Bas, kau nonon sepak bola?
21. Basuki : Tidak.
22. Krima : Apa?
23. Basuki : Tidak.
24. Krima : Kau nonton apa, kalau begitu? Kau tidak boleh nonton apa saja yang bisa membuatmu bahagia, karena akan membuatmu tampak bodoh.
25. Basuki : Aku senang nonton televisi. Tak perduli apa yang aku tonton.
Krima meletakkan seiris semangka diatas televisi.
26. Krima : Kau mau keluar hari ini?
27. Basuki : Hujan. Dan aku memang tidak suka kemana-mana.
28. Krima : Aku hanya bertanya, hanya sebuah kalimat tanya. Kalau kau tak suka aku tak belanja hari ini. Kalau kau butuh apa-apa, bilang saja pada Budi.
29. Basuki : Anak itu tidak ada.
30. Krima : Ia ada di Dapur. Katakan saja padanya kalau kau memerlukan sesuatu.
31. Basuki : Ya.
32. Krima : Dia akan membantumu.
33. Basuki : (berteriak pada televisi) Ya!
34. Krima : Jangan berteriak, Bas, batukmu akan datang lagi. Doni akan datang nantio sore memotong rambutmu.
35. Basuki : Aku tak butuh potong rambut.
36. Krima : Tidak sakit.
37. Basuki : Tidak usah.
38. Krima : Aku harus keluar sebentar.
39. Basuki : Katakan pada Doni, kalau dia datang bawa gunting, akan akan membunuhnya. Beberapa waktu yang lalu dia telah meninggalkan aku dalam keadaan gundul. Setan!
40. Krima : Itu bukan kesalahanku.
41. Basuki : Kau yang menyuruhnya untuk menyukurku!
42. Krima : Aku tidak pernah menyuruh!
43. Basuki : Ya, kau yang menyuruh yang mengaturnya, merencanakan dengan gayamu yang bodoh itu. Kau yang meracang pakaianku seperti akan mengemas mayat. Aku heran, kenapa tidak kau sumbatkan pipa kedalam mulutku waktu itu. Itu akan nampak bagus. Hah? Apa? Pipa! Pipa atau apapun sama saja. Dan semua itu kau lakukan ketika aku tertidur.
44. Krima : Kau selalu hanya bisa membayangkan manusia dari sisi-sisinya yang buruk.
45. Basuki : Bukan buruk, tetapi yang terburuk!
46. Krima : Aku tak mau mendengarnya. Kau seperti comberan! Seharian aku hanya mendengar kata-kata yang sama.
47. Basuki : Lebih baik kau katakan hal itu pada Doni.
48. Krima : Katakan saja sendiri! Dai anakmu! Seharusnya kau bisa bicara pada anakmu sendiri.
49. Basuki : Tidak! Dia mencukurku katika aku tertidur.
50. Krima : Dia merasa bertanggung jawab.
51. Basuki : Pada rambutku?
52. Krima : Pada penampilanmu.
53. Basuki : Aku berada diluar kekuasaannya, bahkan diluar kekuasaanku. Aku telah tiada bagi siapapun. Aku telah raib, Krima.
54. Krima : Jangan ngomong yang aneh-aneh. Orang sudah tak percaya. Itulah Matematika baru yang kau ocehkan itu. Orang mau yang pasti, yang nyata, seperti semangka ditanganku.
55. Basuki : Aku hanya ingin memperingatkan, jangan coba-coba menggunduli kepalaku atau mengemasku seperti mayat.
56. Krima : Budi akan menjagamu.
57. Basuki : Budi tidak bisa melindungi aku dari Doni. Bahkan untuk melindungi dirinya sendiri, dia tidak bisa.
58. Krima : Jangan keras-keras! Dia ada didapur.
59. Basuki : (Berteriak) Budi!
60. Krima : Kau jangan mengaduk-aduk rumah kita dengan teriakan-teriakanmu itu!
61. Basuki : (Berteriak) Budi!
62. Krima : Teriakanmu itu akan mengantarkanmu keujung tali.
63. Basuki : (Berteriak) Budi!
64. Krima : Teriakanmu itu akan mengantar setiap orang keujung tali.
65. Basuki : Tuhan juga diteriakkan keras-keras dalam setiap khutbah.
66. Krima : Aku pergi.
Krima pergi. Buah semangka yang telah terbelah diletakkan diatras televisi. Basuki menelan pil. Ia mematikan televisi. Terdengar suara tangisan. Entah tangis Basuki atau tangis Krima. Suara tangis itu tertelan oleh hujan. Basuki bangkit lalu membentangkan selimutnya.
67. Basuki : (menyanyi tanpa nada dan tanpa gerak) aku melihat sebuah dunia biru, yang dihantarkan hujan kepadaku. Aku heran dunia itu tumbuh dalam semangka, yang mengajak orang kedalam hujan, yang mengajak orang pergi ke Lorosae, ke Aceh, atau ke Papua. Dunia biru, kemana anak-anakku telah dikuburkan.
Basuki berantakan. Ia menyingkirkan semangka dari atas televisi, kemudian menutup televisi dengan selimutnya. Saat itu Budi datang dengan beberapa buah jagung ditangannya. Tubuhnya basah kuyup.
68. Basuki : Dari mana kau dapat itu?
69. Budi : Memetik.
70. Basuki : Dari mana kau petik?
71. Budi : Dari belakang.
72. Basuki : Sudah 33 tahun tidak ada jagung dibelakang. Itu adalah tahun terakhir aku memetik jagung.
73. Budi : Sekarang ada jagung di sana.
74. Basuki : (berteriak pada Krima) Tidak ada jagung ya, Ma, sekarang di belakang?
75. Krima : (hanya suaranya) Tidak, sayang. Budi suka menanam dalam mimpi-mimpinya.
76. Budi : Percayalah, ayah, aku memetiknya dari dalam hujan. Sekali aku memetik dari sana, aku tidak akan bisa mengembalikannya. Aku tidak mencuri. Tidak. Hujan telah memberikannya kepadaku.
77. Krima : (hanya suaranya) Sudah 33 tahun kita tidak pernah panen jagung lagi.
78. Budi : Tetapi aku tidak mencuri! Aku berdiri di dalam hujan disebuah padang jagung. Jauh. Jagung itu memenuhi udara, memenuhi langit. Dan aku memetiknya. Aku tidak mencuri. Jagung tidak bisa dicuri. Apapun yang tidak bisa kita buat, tidak bisa dicuri. Aku memetiknya.
79. Basuki : (pada diri sendiri) Ini adalah sebuah dunia biru.
Budi mendekat.
80. Basuki : Nak, sudah 57 tahun ini aku tak pernah ribut dengan tetangga. Bahkan aku tidak mengenal siapa mereka.
Budi menumpahka seluruh jagung ke atas pangkuan Basuki.
81. Basuki : Apa kau sedang berada dalam kesulitan, Nak?
82. Budi : Tidak, ayah.
83. Basuki : Katakan padaku jika ‘ya’. Aku masih ayahmu. Aku tahu aku masih menyimpan beban yang aku bawa dari Lorosae. Dan itu sebabnya kau kembali kesini.
84. Budi : Aku tak pernah mengalami kesulitan apapun.
85. Basuki : Ibumu telah mengatakan semuanya padaku, Nak.
86. Budi : Apa yang dia ceritakan padamu? (meludah)
87. Basuki : Aku tak bisa mengulang kata-kata yang pernah diucapkan orang lain, tetapi semuanya telah diceritakan kepadaku.
88. Budi : Boleh aku ambil kursi dari dapur?
89. Basuki : Apa?
90. Budi : Boleh aku ambil kursi dari dapur?
Basuki tidak menjawab. Budi pergi. Basuki menyingkirkan seluruh jagung dari pangkuannya. Mengeluarkan boyol, dan meminumnya. Budi datang lagi membawa kursi dan ember. Lalu ia memunguti jagung, mengulitinya satu-persatu, membersihkan, dan memasukkannya ke dalam ember.
91. Basuki : Jagung yang bagus.
92. Budi : Bagus sekali, Ayah.
93. Basuki : Hibrida?
94. Budi : Apa?
95. Basuki : Sejenis hibrida, istimewa.
96. Budi : Kau yang menanamnya. Aku tak tahu jagung macam apa ini.
97. Basuki : Nak, kau tidak bisa tinggal selamanya di sini.
98. Budi : Tidak. (meludah)
99. Basuki : Bukan itu maksudku, Nak. Apa sebenarnya kerjamu?
100. Budi : Kau tidak sedang khawatir, bukan?
101. Basuki : Aku tidak khawatir.
102. Budi : Tetapi ketika aku di Lorosae?
103. Basuki : Di manapun. Apa yang berbeda dengan dunia ini? Kita yang berbeda, Nak.
104. Budi : Aku kesepian. (meludah) Ayah, boleh aku minta wiskimu? Tadi kulihat kau meminumnya.
105. Basuki : Aku tidak minum wiski. Urus dirimu sendiri! Gila! Kau masuk kerumah ini entah dari mana. Lima belas tahun aku tak pernah mendengar kabar beritamu, dan tiba-tiba saja kau menuduhku!
106. Budi : Aku tidak menuduhmu!
107. Basuki : Tadi kau menuduhku bahwa aku tadi minum wiski!
108. Budi : Aku tidak menuduh apa-apa!
109. Krima : (Hanya Suaranya) Bas! Kau sedang apa dengan Budi, sayang?
110. Basuki : Jangan jawab, Nak.
111. Budi : Aku tak berbuat kesalahan apapun.
112. Basuki : Aku tahu kau tak berbuat kesalahan.
113. Krima : (hanya suaranya) Bas, apa yang sedang kalian lakukan?
114. Basuki : Jangan jawab!
115. Budi : Aku tak melakukan apa-apa.
116. Krima : (hanya suaranya) Bas!
Basuki tidak menjawab. Ia menyalakan rokok. Budi kembali menguliti jagung. Sekali-kali ia meludah.
117. Krima : (hanya suara) Bas, dia tidak minum, kan? Kau mau kan mengawasi dia agar tidak minum? Kau harus mau. Itu tanggung jawab kita. Dia sudah tidak dapat lagi menjaga dirinya sendiri. Oleh karena itu kita harus menjaganya. Orang lain tak mungkin, dan oleh karena itu kita juga tidak bisa mengusirnya begitu saja. Kalau kita punya uang, kita bisa mengiriminya. Tapi kita tak punya. Dulu aku selalu berharap Budi bisa mengasuh Doni apabila mereka sudah mulai dewasa. Tapi ternyata Budi hanya menjadi sebuah besi tua yang berkarat, dan Doni tidak lebih sebatang kayu karing yang sedang membusuk. Waktu telah membawa mereka ke dalam kesulitan-kesulitan yang teasa ganjil atau aneh. Siapa yang akan mengira waktu atau masa depan telah membawanya jauh dari gambaran diri mereka yang sering kita banggakan pada masa kanak-kanak mereka?
Hujan telah beberapa saat lalu berhenti. Basuki bangkit menguak televisi dari selimut, kemudian menyalakannya.
118. Krima : Kemudian ketika Budi dan Doni mulai berubah menjadi tak karuan, segala harapan kita bertumpah pada Toni, karena dia cerdas. Dialah yang paling cerdas dari anak-anak kita. Paling tidak dia lebih cerdas dari Doni yang telah membiarkan kakinya dicincang-cincang oleh mesin gergaji. Atau paling tidak dia tidak setolol Budi yang membiarkan dirinya masuk kedalam penjara. Semua orang paham akan hal ini. Tetapi ketika Toni mati, semuanya seakan-akan juga telah mati. Kita tinggal sendirian. Itu sudah tentu. Tonilah yang paling cerdas. Ia pintar mencari uang. Penghasilannya banyak sekali. (suara Krima seperti terdengar di mana-mana, seperti sebuah rekaman siaran televisi) Kalau Toni tidak mati, dia pasti akan memelihara kita. Dia akan menganggap itu sebagai semacam balas budi atau balas jasa kepada kita yang telah membesarkannya, yang telah membuatnya menjadi cerdas seperti itu. Dia akan menjadi pahlawan dikeluarga kita. Jangan lupa itu, Bas, pahlawan keluarga adalah pahlawan sejati. Tidak seperti pahlawan yang memusingkan kita di dalam buku-buku sejarah yang bisa diberitakan kemana-mana sesuka hatinya, karena ia hanya tinggal sebuah nama. Toni berani, kuat, dan cerdas. Seharusnya dia menjadi orang besar, Cuma, aku menyesalkan kenapa ia tidak mati dalam perjuangan, tapi dalam sebuah hotel. Dia tidak cocok mati dalam kamar yang sunyi itu. Dia seorang prajurit, seharusnya dia dapat medali. Aku pernah membicarakan hal ini pada Pendeta Anton, afar Toni mendapat piagam. Beliau sudah setuju waktu itu. Itu gagasan bagus, kata beliau. Beliau tahu ketika Toni main basket dulu. Toni adalah pemain favorit beliau. Beliau bahkan telah memberi rekomendasi kepada Dewan Kota agar mendirikan munumen untuk Toni. Sebuah monumen yang besar, tinggi, satu tangannya memegang bola basket dan satunya lagi memegang bedil. Ini adalah sebuah perpaduan baru untuk abad ini dalam citra membuat sebuah monumen kota. Toni seharusnya adalah satu-satunya jawaban bagi perkawinan kita, satu-satunya jawaban bagi keluarga kita. (suara Krima tiba-tiba menetap pada sebuah tempat. Suaranya seperti suara tangisan) Tentu saja seharusnya ia tetap hidup sampai saat ini, kalau dia tidak kawin dengan wanita iblis itu. Dia telah menjadi tuli, telah menjadi buta dalam cinta. Aku tahu, dan siapa pun tahu bahwa, perkawinannya lebih sebagai sebuah penguburan. Atau semua perkawinan adalah sebuah penguburan? Aku tahu itu, ketika Pastur menyematkan cincin pengikat ke jari manisnya, dia menjadi bulan madu dan sekaligus menjadi mayat. Aku tahu dia tak pernah kembali dari bulan madu itu. Ketika dia kucium waktu itu, kurasakan dia telah menjadi mayat. Bibirnya pucat, dingin, biru, dan membeku. Bulan madu adalah sebuah upacara pembunuhan bagi lelaki yang cerdas seperti Toni. (Krima muncul dengan pakaian telah rapi. Pakaiannya serba hitam, tapi mukanya putih. Ia menurunkan selimut, menutupi televisi yang masih menyala) Dan aku tak kuasa untuk berbuat apa-apa. Toni mengira perkawinannya adalah sebuah kemerdekaan. Dia mengira bahwa itu adalah cinta. Aku pandangi ketika ia berangkat meninggalkan kita. Aku pandangi ketika dia menuntun pengantinya masuk kedalam mobil. Aku pandangi wajahya lenyap di balik kaca mobil itu. Dan aku melihat matanya membuang kebencian yang terakhir kepadaku. Kebencian dan cinta, waktu itu berterbangan seperti kata-kata yang kehilangan makna. Aku seperti tidak berpijak di atas lantai. Aku tidak lagi merasakan dunia. Waktu itu ‘keluarga’ hanyalah kata-kata yang berserakan dalam kalimat-kalimat yang kacau. (Krima memandangi Basuki) Aku harus ke gereja siang ini, menemani Pendeta Anton makan siang.
Doni muncul dengan tangan membawa gergaji. Tubuhnya basah kuyup. Ia berjalan dengan berusaha menyembunyikan kakinya yang tidak normal. Ia agak ragu melanjutkan langkahnya melihat basuki memandangi dirinya. Tetapi ia memaksakan diri melangkahkan ke tengah, mengambil irisan semangka, dan memakannya. Budi berusaha membersihkan kulit jagung yang berserakan. Doni memandangi Budi. Kemudian ia pergi.
119. Krima : Doni!
120. Basuki : Dia bukan kanak-kanak lagi, Krima. Umurnya sudah 30 tahun.
121. Krima : Aku paham. Aku paling tahu berapa sebenarnya umur anak-anakku. Jangan percaya hitungan kalender. Waktu kita akan kacau dibuatnya.
122. Basuki : Apa yang kau ketahui tentang waktu, Krima, tentang hujan?
Budi menangis. Ia memeluk kulit jagung.
123. Krima : Doni akan marah dengan kulit-kulit jagung ini.
124. Basuki : Doni tidak tinggal di sini.
125. Krima : Dia lahir di rumah ini.
126. Basuki : Dia lahir dikubangan babi.
127. Krima : Aku kira kita tidak hanya terdiri dari ucapan-ucapan yang setiap hari kita lontarkan. Aku tak mengerti kenapa kita harus terus melanjutkan proses pembusukan seperti ini. Aku telah sungguh-sungguh melihat bahwa kau adalah sebuah kekalahan yang berlanjut. Seperti sebuah lingkaran yang terus melakukan perubahan.
128. Basuki : Doni bukan darah dagingku! Darah dagingku tertaman di halaman belakang!
129. Krima : Bagaimanapun kita adalah sebuah sejarah, Bas.
130. Basuki : Krima, kau jangan berm,ain-main dengan kengerian seperti itu! Kau lihat televisi itu, apakah dia berbica tentang kita? Itu aneh sekali. Dia berbicara tentang sebuah aktualitas, dunia sebagai sebuah mode, peristiwa sebagai sebuah mode, dan manusia sebagai sebuah mode. Kita sudah tidak berada lagi di sini, di manapun.
Sementara itu Budi mencari kesempatan untuk pergi. Dan kemudian menghilang.
131. Krima : Kau mulai batuk-batuk lagi, Bas. Aku harus pergi. Aku harus menemani Pendeta Anton. Bagaimanapun aku tak mau meninggalkan dunia harapan yang pernah tumbuh dalam diriku, agar kalimat-kalimatku tidak menjadi dunia yang sumpek. Aku hanya ingin mengingatkan tentang warna, cahaya, bentuk-bentuk, di mana aku bisa mengurai setiap detik dari waktu-waktuku.
132. Basuki : Pendeta Anton bukan sebuah warna.
133. Krima : Aku hanya ingin mengingatkan kembali tentang monumen Toni. Toni memiliki masa lalu yang menggugah untuk di batukan. Aku sebenarnya tidak suka dengan patung pura-pura, patung yang digagah-gagahkan, seakan-akan otot-otot manusia itu, atau matanya, atau dadanya, atau bahunya dan keningnya terbuat dari batu. Patung yang pura-pura seperti ini banyak bertebaran hampir di seluruh kota, yang hanya membuat kita takut pada kegagahan, pada keberaniaan, atau pada kematian. Patung-patung itu mengingatkan aku pada sesuatu………..ya……..sebongkah batu yang sering kali aku bayangkan bergantungan diatas langit, yang setiap saat…..Bas, aku harus pergi.
134. Basuki : Hujan tidak akan pernah berhenti.
135. Krima : Tidak ada hujan di sini, Bas.
136. Basuki : Sebaliknya, Krima, tidak ada hujan di manapun. Hanya di sini hujan turun.
Krima membuka payung yang juga berwarna hitam, lalu pergi meninggalkan Basuki
137. Krima : (hanya suara) Bas, kau harus menjaga Budi dan Doni! Bagaimanapun mereka bukan sebuah dunia kata-kata!
DUA
Basuki mengambil selimut dari televisi. Ia berusaha untuk tidur. Hujan mulai turun lagi. Dari jauh terdengar suara mesin gergaji. Basuki gelisah. Ia bangkit memeluk tubuhnya dengan selimut. Berusaha melangkah. Saat itu Doni muncul dengan langkah-langkah yang berusaha disembunyikan. Tangannya gemetar oleh mesin gergaji yang masih menyala, dikotori oleh serat-serat kayu bekas terpapas, beberapa potongan daun yang tercabik, dan tubuh yang basah kuyup.
138. Basuki : Kau tidak ikut ibumu, Anakku?
139. Doni : Ayah, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan.
Basuki tidak menjawab
140. Doni : Aku punya kesadaran.
Basuki tidak menjawab
141. Doni : Tangan dan kakiku bukan kayu, Ayah, yang bisa hidup tanpa bergerak
Basuki tidak menjawab
141. Doni : Ia menuntutku untuk berbuat. Ia selalu menciptakan kesadaran itu.
Basuki tidak menjawab
142. Doni : Lalu aku berusaha menghentikan dengan mesin ini. Ia terus bergetar. Aku harus menipu tanganku agar ia merasa bahwa ia telah bergerak, bahwa ia telah di perlakukan sebagai mana mestinya. Mesin ini telah membuat tanganku bergetar. Mesin ini tiba-tiba telah menjadi tanganku sendiri. Ia terus bergetar.
Basuki tidak menjawab
143. Doni : Desakan itu tak tertahankan. Lalu tiba-tiba tubuhku meledak. Ia harus menyentuh. Aku harus menyelesaikannya. Maka ia menyentuh seluruh pohon yang tumbuh di kota ini. Satu-persatu batang-batang kayu itu tumbang. Aku begitu bernafsu, aku memperoleh kerja. Seluruh tubuhku bekarja. Kerja! Darahku mengalir. Aku menjadi sebuah sungai yang mengalirkan air ke sepanjang kota, mengalir di lorong-lorong di bawah kota. Mereka tak pernah tahu bahwa di bawah kota ini beribu-ribu sungai saling membelah. Dan aku mengalir di dalamnya. Baru pertama kali ini aku mendapatkan ke gairahan. Kerja! Aku mencukur seluruh pohon. Kesadaran bahwa aku bukan kupu-kupu, bahwa aku bukan kayu, telah membuat kota ini menjadi gundul.
Basuki semakin mempererat pelukan selimutnya.
144. Doni : Kau tak takut, Ayah. Polisi tidak akan menangkapku, karena aku tidak melakukan kejahatan. Kejahatan tidak pernah ada. Kejahatan adalah seluruh kemungkinan yang bisa terjadi, karena setiap orang tidak mungkin hidup tanpa bekerja.
Basuki tidak menjawab
145. Doni : Dengarkan aku, Ayah, aku tidak sedang mencari perhatian darimu dengan semua ini, seperti beribu-ribu anak-anak lainnya yang melancarkan dendam meraka terhadap kasih sayang dengan anarkisme. Aku hanya mencoba untuk tidak sekedar menjadi dekor. Aku telah menyelesaikan tuntutan-tuntutanku untuk bekerja.
146. Basuki : Doni, penderitaanmu keramat, Doni.
147. Doni : Aku hanya sebuah hujan yang turun di gelap malam.
148. Basuki : Setiap keringatmu yang jatuh menyentuh tanah, akan tumbuh batang-batang jagung.
Basuki batuk-batuk. Doni gugup. Tubuhnya turut bergetar bersama mesin gergaji. Batuk basuki semakin kuat. Tubuhnya terguncang.
149. Basuki : (berteriak-teriak di antara batuk) Kau akan ditangkap oleh dirimu sendiri, Doni, dirimu akan menjadi penjara yang kau seret kemana-mana! Kau adalah pengadilan yang terus berlangsung bagi dirimu sendiri!
Doni panik. Basuki berantakan. Doni mencari ruang. Ia lari dalam kepanikan. Basuki jatuh. Ia meraih botol di saku bajunya dan meneguk pil. Beberapa pil berserakan. Saat itu Budi muncul dengan tubuh yang hanya dibungkus oleh handuk. Mulutnya penuh dengan busa pasta gigi. Tangannya menggenggam sikat gigi. Ia memandangi basuki yang berusaha bangkit, berjalan, dan kemudian berbaring di tempatnya. Batuknya mulai turun di antara sela-sela rintik hujan.
150. Basuki : Kau mau menemai aku, bukan?
151. Budi : Ya, Ayah.
152. Basuki : Akhir-akhir ini, aku semakin takut dengan diriku sendiri.
153. Budi : Maksudmu batuk itu, Ayah?
154. Basuki : Bukan
Budi mengusap busa pasta gigi dari mulutnya.
155. Basuki : Ada satu soal, Nak, bahwa kadang-kadang orang ingin didengarkan. Dan aku adalah orang yang tidak percaya dengan permainan seperti itu. Sebagian orang menukarkan dengan pil atau alkohol.
156. Budi : Bicaralah yang jelas, Ayah.
157. Basuki : Orang akan berbicara dengan jelas kalau ia tidak pernah mengenal kata-kata.
158. Budi : Apakah kau akan mati, Ayah?
159. Basuki : Aku adalah sebuah bangunan yang telah berantakan. Tidak ada seorang pun yang bisa memasukinya lagi, karena orang sudah tak dapat mengenali di mana letak pintu masuk dari bangunan itu. Oleh karena ibu aku selalu takut dengan orang-orang yang berada di luar diriku. Tetapi aku masih merasakan bahwa masih ada halaman belakang dari bangunan yang runtuh itu. Yang ditumbuhi jagung yang telah kau petik itu.
160. Budi : Ayah, Apakah kau akan mati?
161. Basuki : Tidak. Dan memang aku tak pernah mendengar ada manusia yang mati. Ia adalah sebuah deret ukur yang bisa mengatur dirinya sendiri dari jumlah-jumlah yang mengerikan. Ketika seseorang telah berada dalam sebuah lapangan bola, ia harus mengejarnya , dan membuat gol. Tetapi itu dusta! Orang tidak pernah mengejar bola. Bola itulah yang telah mengatur seluruh permainan dengan sendirinya, karena ia bulat, dan selalu mengesankan tertuju ke satu arah. Dan setiap orang tertarik pada pancaran arah itu. Dan kita memburunya, penonton bersorak, wasit membunyikan peluit. Dan itulah dusta itu. Bahwa kita diatur oleh kekacauan.
162. Budi : Apakah kau masih mau nonton, Ayah?
163. Basuki : Jam berapa sekarang?
164. Budi : Jam sebelas malam.
165. Basuki : Malam-malam begini kau mandi?
166. Budi ; Aku selalu mandi menjelang tengah malam.
167. Basuki : Krima belum pulang?
168. Budi : Hujan belum berhenti, Ayah.
169. Basuki : Aku lelah. Aku mau tidur. Tapi aku takut Doni akan datang lagi tidak dengan gunting, tetapi dengan mesin gergajinya itu. Aku tak mau kepalaku di gundul.
170. Budi : Tidurlah, Ayah.
171. Basuki : Maukah kau menemaniku?
172. Budi : Ya.
173. Basuki : Tolong matikan mahkluk itu.
174. Budi : (pada diri sendiri) Aku tak tahan.
Budi mematikan televisi. Basuki mulai tertidur. Dengan langkah yang disembnyikan, tak beberapa lama Doni muncul dengan kedua tangannya mengangkat keranjang yang penuh dengan tomat.
175. Doni : Sssstttt…….., Budi.
Budi mengawasi Doni dengan mata nanar.
176. Doni : Aku membawa tomat. Kau mau tomat?
Budi menghampiri dengan langkah-langkah lambat.
177. Doni : Sssttt. Jangan sampai dia terbangun.
178. Budi : Ini tanganku.
179. Doni : Aku kedinginan.
180. Budi : Masuklah.
181. Doni : Rumah ini terasa begitu jauh. Ssssttt……..
Budi tidak melanjutkan langkahnya. Ia terpaku. Demikian juga Doni.
182. Doni : Aku membawa tomat ini untuk, Ayah. Sudah sejak siang tadi aku menyiapkannya. Tetapi aku takut. Apa pun yang aku bawa untuknya, seakan-akan tidak bernilai. Aku tak dapat menemukan apakah nilai itu terletak pada niatan memberi, atau pada apa yang diberikan, atau pada siapa yang memberikan. Budi, kau tak pernah tahu, sudah sering kali aku dicekam oleh keinginan memberikan sesuatu untuk ayah. Tetapi aku tak bisa menyatakan desakan kasih sayangku itu. Dan setiap kali itu lupa, aku berlari, kembali membawa pergi apa yang aku bawa untuknya. Setiap kali itu pula aku berlari menuju jembatan, dan aku lemparkan ke dalam sungai. Baju, pakaian hangat, cerutu kesukaannya, atau tomat, semuanya aku lempar ke dalam sungai itu. Aku pandangi benda-benda itu mengalir, sampai ia hilang dari pandanganku. Dan aku merasa telah menyampaikan pada Ayah. Aku sering merasa bahwa Ayah lebih baik berdiri di ujung sungai itu, dan menerima nafsu kasih sayang ku. Begitulah, kepalanya sering gundul ditanganku, karena aku ingin berbuat sesuatu untuknya. Tetapi aku bukan lagi sebuah mahkkluk yang nyata. Ayah suatu saat lebih dekat dengan mahkluk-mahkluk di dalam televisi itu.
183. Budi : Ini tanganku.
184. Doni : Tak sampai. Budi, maukah kau bermain bola lagi seperti masa kanak-kanak kita dulu? Biarlah kita kembali kedunia itu, karena dunia itulah yang dikenal dengan baik oleh ibu. Ibu telah menguburkan kita di sana. Anak-anak dilarang menjadi dewasa! Kecuali dalam soal seks! (Doni terkejut dengan teriakannya sendiri) Sssttt!Aku haus, Budi. Cepat, Budi! Aku tk tahan! Mana tanganmu? Biarlah tomat ini ada di tanganmu.
185. Budi : (mendekat) Ini.
186. Doni : Tanganmu begitu kecil, seakan-akan tak pernah berubah sejak kau berusia sebelas tahun.
Doni terpaku. Kemudian ia menumpahkan seluruh tomat ke pagkuan Budi. Lalu lari menghilang. Budi terjatuh. Handuknya lepas. Ia terpaku diantara tomat yang berserakan.
187. Budi : Aku mendengar sesuatu. Aku harus mencarinya. (Budi bangkit. Ia mencari-cari ruang) Aku harus mencarinya. Aku harus menemukannya malam ini. (Budi merayapi setiap jengkal ruang. Lalu ia menemukan botol minuman basuki. Ia memandangi botol dengan bergetar menggegamnya) Ini dia! Aku menemukan kata-kata itu. Kata-kata yang ingin aku ucapkan. Aku akan mengucapkannya. Aku harus mengucapkannya. Di Negeri ini tidak ada kesenian, tidak ada puisi, sehingga aku sering kehilangan pengucapan. Kini aku menemukannya. Aku harus mengucapkannya. Puisi adalah sebuah kudeta terhadap kehidupan yang membosankan. Aku harus mengatakannya malam ini juga. (Budi mengangkat botol tinggi-tinggi. Ia berdiri dekat kepala Basuki yang terbaring dan botol itu diarahkan kearah kepala Basuki yang sedang tidur) Tidak. Bukan ini, ya bukan ini. (Budi cepat menurunkan kembali botol di tangannya. Kemudian memeluknya erat-erat) Aku tahu di mana letak yang tepat tempat kata-kata itu harus berada, harus diucapkan. Malam ini membuat pikiranku bercahaya. Sekumpulan kata-kata yang selama ini terasa asing untuk di ucapkan, malam ini datang padaku, dan menyusun kembali diriku dari rancangan-rancangan yang selama ini terbengkalai. Aku harus menyusunnya kembali dan mengucapkannya. Inilah malam seribu bulan, di mana aku mengawini kekasih. Malam yang terjaga dari genangan lumpur, dan membersitkan cahaya kedalam jiwaku yang selama ini tidak pernah sembahyang. Aku seperti melihat seluruh alam semesta menyerahkan dirinya kepada sesuatu “Yang Tak Terelakkan”. Inilah sebuah malam pengucapan.
Budi berlari sambil mendekap botol
188. Budi : (hanya suara) Aku harus menggalinya. Aku harus menemukan kata-kata itu.
Budi muncul lagi dengan sekop di tangan yang penuh tanah. Tanah itu diurukkan kepangkuan Basuki yang ditutupi selimut
189. Budi : Ayahku yang tua. Dengarlah puisi malam ini. Alam semesta sedang mengucapkan kepada kita. (Budi berjalan pulang balik membawa tanah dengan sekop, kemudian mengurukannya ke tubuh Basuki. Ia melakukan sambil terus berkata-kata). Kau memang tidak pernah mati, karena kau membiarkan kata-kata mengulang dirimu sendiri. Dan di sana kami di kuburkan. Di dalam televisi, di dalam harian-harian pagi. Ayah, dengarlah puisi-puisi gelap itu sedang menggali dirinya yang terkuburkan. Di sana aktor-aktor akan bangkit, menjelaskan kesulitan- kesulitan komunikasi yang selama ini kita hadapi. Mereka bukan para pembunuh kata-kata. Kau jangan percaya bahwa anak-anak akan merampas menit-menitmu, dan membiarkan para orang tua mati di luar daerah waktu. Itu hanya teori ekonomi, atau teori politik yang tidak memiliki Tuhan, dan hanya memiliki konggres-konggres tempat mengambil keputusan. Mereka mempunyai media-media pembenaran untuk setiap pembunuhan politik maupun pembunuhan ekonomi yang mereka lakukan. Mereka bisa mengirim bunga, mereka bisa membahagiakan keluarga mereka. Mendongengi anak-anak sebelum tidur, dan menyebut “anda” pada Ayahnya. (Budi mengambil handuknya yang terjatuh) Seperti sebuah film, di mana kemudian kita menyesali semuanya ini. Keindahan dan kekerasan bersatu. Dan kita mulai ketakutan mengunjungi gedung-gedung bioskop. Di sana ada cinta yang bisa bercampur dengan apa saja. Tetapi kita tidak bisa memetiknya dari hujan, seperti aku memetik jagung. Aku hanya melihat orang-orang yang mengepit kaleng minuman, seakan-akan masih ada yang berharga dalam diri mereka yang tidak bisa lagi di ucapkan.
Budi mematikan beberapa lampu. Ruang menjadi remang-remang. Ia memandangi semangka. Kemudian meletakkannya ke atas televisi. Bulan mulai tampak dari kaca jendela.
190. Budi : Kau adalah jagung yang menana diri sendiri, Ayah. Sehingga aku tidak pernah melihat hasilnya. Di situ kau menjadi raib, seperti malam yang menghapus seluruh keringat kita.
Budi menghilang. Dari balik kaca tampak bayang-bayang Krima. Dalam remang-remang Krima masuk. Ia membersihkan tubuh Basuki dari tanah. Menyalakan lampu, kemudian menyiapkan meja makan. Membuka beberapa makanan yang di bawanya. Basuki bangun. Doni datang. Budi datang. Seluruh pakaian mereka telah bersih. Kemudian mereka makan bersama. Tanpa berkata-kata lampu padam. Dan dalam gelap meja makan berbunyi.
TIGA
Televisi menyala dan semangka menganga di atasnya. Ruang biru datar tak berbatas. Sekar bergerak merumuskan ruang. Iwan berusaha mengumpulkan ingatan dan menerjemahkan.
191. Sekar : Iwan, apakah ada yang telah berubah?
192. Iwan : Dulu rumah ini berbau padi dan jagung, bau kerbau dan burung-burung .
193. Sekar : Kenapa tak kau lupakan saja semuanya?
194. Iwan : Tak ada satu pun yang bisa kita hapuskan.
195. Sekar : Aku tak suka burung-burung di sini.
196. Iwan : Kenapa?
197. Sekar : Aku takut.
198. Iwan : Kenapa?
199. Sekar : Tiba-tiba kau membawaku kesebuah masa yang tidak aku kenal. Aku tak mau menjadi orang asing di sini.
200. Iwan : Kenapa?
201. Sekar : Aku menganggap ini sekedar tamasya. Aku tak mau kau berubah dan menjadi seseorang yang tak aku kenal.
202. Iwan : Aku mulai mencium masa yang mulai hilang itu. Biarkan kau melihatku seperti ini.
203. Sekar : Tak ada Ayahmu di sini.
204. Iwan : Aku akan berteriak memanggilnya.
205. Sekar : Tidak. Aku tak suka kau berteriak.
Iwan berteriak tak jelas
206. Sekar : Aku akan pergi kalau kau berteriak lagi.
207. Iwan : Kenapa?
208. Sekar : Aku tak mau kau berubah.
Kemudian sunyi. Di latar belakang tampak Basuki berjalan terbungkuk-bungkuk. Matnya mencari-cari sesuatu di angkasa. Lalu basuki menghilang.
209. Sekar : Iwan, ada semangka di sini.
210. Iwan : Kita makan.
211. Sekar : Jangan.
212. Iwan : Kenapa?
213. Sekar : Ini soal sopan santun.
214. Iwan : Kenapa?
215. Sekar : Dalam semangka ini ada mahkluk-mahkluk yang hidup.
216. Iwan : Hentikan!
217. Sekar : Biarkan, Iwan, biarkan.
Iwan berteriak tak jelas.
218. Sekar : Jangan bodoh. (panik)
219. Iwan : Aku memanggil Ayahku.
220. Sekar : Ia tak akan mengenalimu lagi. Kita selamatkan semangka ini. Sebentar lagi ia akan membusuk, dan mahkluk-mahkluk di dalamnya akan turut membusuk.
Sekar berusaha menyentuh semangka itu. Budi datang.
221. Budi : Jangan sentuh! Semangka itu telah mati!
222. Iwan : Kau Ayahku?
223. Budi : Aku bukan siapa-siapa.
224. Iwan : Aku Iwan.
225. Budi : Iwan?
226. Iwan : Ya.
227. Budi : Lorosae telah menghapus diriku.
228. Iwan : Tidak. (Iwan memegang kepala) Lihat, ini kepalamu. (Iwan mencopot baju) Ini badanmu. (Iwan membuka sepatu dan mengangkat kakinya) Ini kakimu. Lihat, ini semua adalah kamu! Aku tak mau memilikinya sendiri. Aku bukan mahkluk televisi. Aku dilahirkan!
229. Sekar : Iwan! Hentikan semuanya ini! Mari pergi!
Sekar menarik Iwan.
230. Iwan : Tunggu!
Budi gugup. Lalu lari membawa semangka.
231. Iwan : Tunggu, Ayah!
232. Sekar : Jangan tinggalkan aku, Iwan!
233. Iwan : Aku akan kembali.
234. Sekar : Aku tak mau kau berubah.
235. Iwan : Dengarkan, sekar, aku tak pernah memesan seluruh rangkaian tubuhku ini pada sebuah bengkel. Kita telah memasukinya. Di dalamnya bukan sebuah lubang yang kosong menganga.
Iwan pergi. Dari jauh terdengar suara pesawat terbang yang merendah. Kemudian sunyi. Sekar menjongkok di depan televisi, memeluk lututnya. Ia mulai merasa tentram. Cahaya televisi tiba-tiba mengesankan seperti sebuah alat penghangat di sekitar Sekar. Sekar berusaha merumuskan sebuah dunia di katanya. Sebutir telur menetas.
EMPAT
Televisi pagi hari. Sinar matahari menerobos masuk ke setiap celah. Udara cerah. Tak ada hujan. Tak jauh dari televisi terdapat ember berisi setengah oleh air dan di sebelahnya beberapa ikat sayuran. Basuki sedang melakukan senam.
236. Basuki : (diantara gerak senam) Semalam aku di bawa lari oleh hujan. Aku terlempar di halaman belakang. Atau kisahnya aku ganti begini. Semalam akua di bawa lari oleh hujan ke sebuah lapangan bola. Bola aku bawa lari. Aku tendang. Gol! Orang-orang bersorak. Wasit membunyikan peluit. Tetapi ini kisah yang sering dilakukan oleh Budi. Semua sastra sekarang hanya sebuah karangan. Aku punya cerita begini. Tentara berbaris di Poso, di Ambon. Ulama membawa bedil. Krima mencium leherku yang berkeringat. Katanya “asin”. (tertawa) tentu saja. Aku mendengar suara bom menghancurkan ladang-ladang di desa-desa. Dari televisi berhamburan mahluk-mahluk aneh, mereka berteriak, “ganyang keluraga!” tiba-tiba aku melihat seluruh dunia ditumbuhi oleh jagung. Disana aku menemukan sebuah kuburan, tempat anak-anak dikuburkan. Aku berlari dan berteriak, “Krima! aku adalah seorang bapak! Aku adalah seorang bapak”
Basuki terengah-engah ia mempercepat gerakan senam, sehingga gerakannya menjadi kacau. Saat itu Sekar masuk membawa secangkir kopi yang masih mengepulkan panas.
237. Basuki : Kau siapa?
238. Sekar : Aku Sekar.
239. Basuki : Bagaimana kau bisa berada di sini?
240. Sekar : Aku datang bersama Iwan. Aku kawannya. Ketika kami daang tadi malam, kau dalam keadaan mabuk.
241. Basuki : Ketika hujan turun dengan deras?
242. Sekar : Ya.
243. Basuki : Siapa Iwan?
244. Sekar : Cucumu. Ini kopi untukmu. Ia akan membutmu segar.
245. Basuki : Kopi?
246. Sekar : Ya.
247. Basuki : Jangan bawa kopi itu kemari. Sudah bertahun-tahun sejak aku tidak tidur lagi dengan istriku, aku tak pernah minum apapun yang dibuat orang lain. Aku pernah menemukan racun di dalamnya, yang membuatku hampir mati.
Sekar duduk di sebelah ember, meletakkan kopi, dan mulai membersihkan wortel. Basuki memandangnya dengan heran.
248. Basuki : Dari mana sayuran itu kau peroleh?
249. Sekar : Paman Budi meletakkan sayuran ini tadi pagi didepan pintu kamarku. Iwan kemudian mengejarnya. Paman menghambur keluar, dan lari menerobos ladang jagung.
250. Basuki : Ladang jagung?
251. Sekar : Ya. Aku melihatnya. Ia tangkas. Ia sangat tangkas. Ladang jagung itu sudah seperti menjadi dirinya. Aku kira paman memberikan sayuran ini untukku. Aneh sekali, aku merasa mengenalnya dengan baik. Ia mengenalkan aku pada kehangatan yang telah hilang, saat hujan turun dengan derasnya.
252. Basuki : Apakah kau seorang pelacur yang di bawa Budi ke rumah ini?
253. Sekar : Aku seorang perawan. Tapi apa bvedanya untukmu? Aku tak takut tidur denganmu, atau dengan laki-laki manapun.
254. Basuki : Karena kau seorang perawan?
255. Sekar : Itulah satu-satunya kekuatanku.
256. Basuki : Tapi kau cantik. (Basuki tertawa)
Saat itu Budi masuk menggenggam telur. Ia tampak gugup. Basuki menarik diri dan membungkus tubuhnya dengan selimut. Budi memberikan telur itu pada Sekar. Kemudian ia duduk membantu mengupas wortel. Sekar mengupas telur dan memakannya.
257. Sekar : Kenapa kau menghindar?
258. Budi : Ia mengingatkan aku pada sebuah generasi.
259. Basuki : Aku juga sebuah generasi.
260. Budi : Aku belajar menatapnya. Ia aku tinggalkan di Lorosae. Aku bertengkar dengan ibunya. Lalu aku masuk penjara.
261. Sekar : Kau membunuhnya?
262. Budi : Tidak. Ada sebuah dunia yang membunuh kami semua.
263. Sekar : Tapi Iwan tidak mati.
264. Budi : Dunia tidak bisa membunuhnya. Ia dilahirkan oleh sebuah masa. Dan ia tidak akan pernah mati sebelum masanya tiba.
265. Sekar : (menghirup kopi)
266. Budi : Dunia itu telah hancur. Sekarang dia datang. Dia akan membongkar semuanya ini.
267. Sekar : Membongkar apa?
268. Budi : Membongkar sebuah sungai dangkal yang mengalir di bawah rumah ini. Dia akan mengganyang setiap rumah.
269. Sekar : Maksud paman?
270. Basuki : Anak asing itu tak akan mengerti, budi.
Budi memandangi Basuki. Basuki terdiam. Budi bergerak memandang telivisi, kemudian kembali memandang Sekar. Ia berusaha merumuskan sebuah dunia di matanya.
271. Budi : Darahku mengalir dari jagung yang tumbuh di tanah ini. Ia telah membesarkan aku hingga aku bisa berdiri tegak. Di sini. Seharusnya aku adalah tanaman yang sudah bisa di petik. Tapi lelevisi telah membawaku pergi. Aku terlempar di Lorosae. Sejak itu ak merasa tali-tali hubunganku putus. Aku mulai menderita dalam komunikasi.
Disana aku kawin. Tetapi aku merasa semakin tak berarti. Aku mulai tak percaya pada lembaga.
272. Basuki : Sia-sia, Nak, sia-sia.
273. Budi : Aku mulai tak percaya dengan orang-orang disekitarku. Mereka semua menjadi serupa sebagai sebuah bentuk permainan dan warna. Satu-satunya dunia yang polos, dunia yang bisa aku percaya, dunia dimana aku bisa menyelam, dan anakku Iwan. Tapi rasa kehilangan telah menghancurkan semuanya. Dunia yang aku huni adalah sebuah tempat yang mengambang di atas sebuah sungai yang dangkal. Lalu jagung yang telah membuat darahku mengalir, menarikku kembali. Aku bukan seorang pemberontak yang bisa berdiri di ats bangunan yang telah hancur oleh tangannya sendiri.
274. Sekar : Iwan juga bukan seorang pemberontak.
275. Budi : Tapi kedatangannya akan membongkar sebuah kuburan. Kuburan itu bernama darah keturunan. Bahwa tidak ada seorangpun yang bisa dibunuh disana.
Saat itu terdengar suara mesin, gergaji.
276. Basuki : Jangan tinggalkan aku sendirian lagi, Budi.
277. Budi : Bahwa Iwan harus memelihara ibunya, bahwa Iwan harus memelihara ayahnya, kakeknya, neneknya, tali perdarahan yang panjang, yang sekarang tiak bisa lagi menyentuh lapisan-lapisan kaca pesawat televisi, dimana semua anak-anak direnggutnya.
Doni datang dengan mesin gergaji. Ia terhenti memandangi Sekar. Kemudian mematikan mesin gergaji. Meletakkannya di atas lantai, dan mulai menghampiri Sekar. Sekar berdiri dengan keadaan asing. Sebuah dunia seperti sedang berusaha merenggutnya.
278. Doni : Kau siapa?
279. Sekar : Namaku Sekar.
280. Doni : Boleh aku lihat tanganmu?
Sekar memberikan tangannya.
281. Doni : (merasa tangan Sekar) Bulu tanganmu halus.
Basuki membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut. Budi gugup.
282. Doni : Kau seperti sebuah lilin. Boleh aku memegang bibirmu?
283. Budi : (gugup) Hentikan!
284. Doni : (meraba bibir Sekar) Bibirmu panas.
285. Sekar : Aku baru minum kopi.
286. Budi : Hentikan!
287. Sekar : Biarkan, paman.
288. Doni : Boleh kau menjadi istriku?
289. Sekar : Kau bisa?
290. Doni : Kau mau bukti?
291. Sekar : Ya.
292. Doni : Buka mulutmu.
Sekar membuka mulut. Doni memasukkan jari tangannya ke mulut Sekar. Basuki batuk-batuk dalam selimut. Budi panik. Kemudian menarik tangan Doni. Budi dan Doni tarik-menarik. Sekar terengah-engah. Doni terpaku. Iwan datang. Semuanya diam. Budi menarik diri ke pojok.
293. Iwan : Kenapa kita saling menyembunyikan sesuatu?
Sekar menangis tanpa suara.
294. Iwan : Aku merasa ada yang sudah tak terucapkan lagi dirumah ini.
Lampu padam.
LIMA
Tak ada ruang yang bisa dikenali. Iwan berdiri memeluk Sekar. Cahaya jatuh hanya pada tubuh mereka. Hujan turun.
295. Iwan : Kita tak pernah ada hubungan-hubungan lain disekitar kita. Ketika semua kawat yang menghubungkan kita satu sama lainnya telah putus, semua lembaga, semua rumah, berubah menjadi monster yang menakutkan, menjadi kuburan-kuburan kebudayaan yang tidak memiliki batu nisan. Tangan kita menjangkau dari Lorosae, ke Aceh, ke Papua. Tapi kita juga menemukan tangan yang sama di Vietnam, di Tripoli, di Kalkuta. Tangan-tangan yang tak tahu apa yang harus dimilikinya, karena setiap yang digenggam, terlepas lagi dengan cepat. Tangan kita menjadi pucat, karena ia tidak bisa lagi memiliki. Kini kita tidak lagi merasa perlu lagi mengetahui kita berada di mana. Semua kota hanya sebuah sebutan kota-kota, yang setiap saat kita bisa menyebutkan berloncatan, tanpa perlu mengetahi apa artinya untuk kita.kita berusaha merangkai diri kita kembali di sana, yang setiap saat bisa hancur kembali dengan cepat,karena kita hanya tinggal sebuah bentuk. Di sana kita mulai belajar lagi menghitung waktu, dari putaran yang berputus-putus. Tetapi kecepatan seakan-akan telah membuatnya menjadi sebuah kkesatuan yang bulat, yang kali membuat kita merasa kehilangan pada setiap saat.
Saat itu di latar belakang yang remang, Basuki berjalan terbungkuk-bungkuk. Budi muncul mengendap-endap.
296. Budi (hanya suara) Ayah, aku melihat mayat Doni mengambang di sungai.
Budi dan basuki menghilang. Krima dan seorang lelaki datang melintas keremangan.
297. Krima : Tanganmu tetep hangat. Tangan malam yang tak pernah tidur.
298. Lelaki : Biarkan semuanya tetap apa adanya.
299. Krima : Biarlan kita menjadi apa pun.
ENAM
Suara kendaraan satu-satu datang membangun malam. Suara itu datang dan menghilang . Seperti mengantar para pengungsi ke tempat tempat yang tak di kenal. Mungkin orang bisa menghitung waktu di sini melalui detak nafasnya sendiri. Mungkin orang bisa membayangkan dirinya menjadi makhluk-makhluk tak di kenal di sini, yang terkurung dalam satu daerah. Dari jauh terdengar suara kereta berderam. Pernah berhenti. Kereta seakan-akan terdiru dari beribu-ribu gerbong yang tak putus-putus, melewati kota-kota di Amerika, Eropa, Asia, Afrika, dan seterusnya melintas di dasar laut, di dasar bumi, lorong-lorong yang tak di kenal, di langit, dan melintas kedalam tubuh-tubuh yang sudah tidak mengenal dirinya sendiri. Di sini orang-orang menjadi penonton bagi dirinya sendiri yang sedang di hentikan sebuah bingkai raksasa, dan mereka tidak bisa melawan. Tak ada komikasi di sini, tak ada bahasa. Tak ada pura yang bisa dikenali. Mereka menyaksikan sebuah dunia komunikasi sedang sekarat dalam dirinya sendiri, seperti sedang menyaksikan sebuah kematian dengan cara baru, yaitu nyawa bahasa yang sedang dicabut dari tubuhnya.
Kemudian kereta menguap seperti hempasan yang ditolak oleh pantai. Inilah malam yang bukan milik siapa-siapa. Inilah malam di mana semua orang kehilangan kemampuannya untuk memiliki dunia yang dekat dengan dirinya.
END